Kebiasaan ini membentuk ekspektasi bahwa kebahagiaan seharusnya datang cepat, tanpa proses panjang atau pengorbanan berarti.
Media sosial turut menjadi panggung besar gaya hidup ini. Platform seperti Instagram dan TikTok kerap menampilkan kehidupan “sempurna” yang dipenuhi barang mewah, liburan eksotis, dan pengalaman premium.
Baca Juga:
Menginspirasi Generasi Z: Zizie, Mahasiswa dengan Semangat Berwirausaha
Budaya konsumerisme digital pun tumbuh, menjadikan kemewahan sebagai tolok ukur kesuksesan.
Ditambah lagi, fenomena FOMO (fear of missing out) mendorong sebagian anak muda untuk mengikuti tren dan mengeluarkan uang demi sekadar “tidak ketinggalan”, meskipun kebutuhan sebenarnya tidak mendesak.
Dampaknya tak bisa diremehkan. Secara individu, banyak yang kesulitan mengelola keuangan karena terbiasa berbelanja impulsif ketimbang menabung.
Baca Juga:
KPU Gorontalo Sosialisasikan Pendidikan Pemilih bagi Generasi Milenial dan Gen-Z di Daerah
Kemampuan menunda kepuasan menurun, sementara tekanan sosial dari perbandingan di media sosial dapat memengaruhi kesehatan mental.
Secara sosial, hal ini berpotensi mengikis empati, memperlebar jarak antara kelompok ekonomi, dan menurunkan minat terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan.
Beberapa faktor memperkuat tren ini: algoritma media sosial yang terus menampilkan konten konsumtif, tekanan dari teman sebaya, minimnya pendidikan finansial di sekolah maupun di rumah, serta berkurangnya komunikasi intens antara orang tua dan anak.