WAHANANEWS.CO, Jakarta - Belakangan ini, tren pernikahan sederhana semakin mencuri perhatian, terutama di kalangan Gen Z dan sebagian generasi milenial.
Alih-alih memilih pesta pernikahan mewah dan meriah, banyak dari mereka kini memutuskan untuk menikah secara simpel di Kantor Urusan Agama (KUA).
Baca Juga:
Anak Muda Pilih Skincare Sesuai Bujet, Tak Gampang Tergiur Iklan
Dengan konsep yang jauh dari kemewahan, prosesi hanya dihadiri keluarga dan kerabat dekat.
Meski tanpa dekorasi megah, nuansa khidmat dan hangat tetap terasa, menjadi alasan kuat mengapa pernikahan model ini makin diminati.
Di tengah arus unggahan media sosial yang memamerkan pesta pernikahan spektakuler, sebagian anak muda justru tampil beda.
Baca Juga:
Tren Vape Meningkat, Dokter Peringatkan Ancaman Kesehatan Serupa Rokok
Mereka bangga membagikan momen istimewa di depan gedung KUA dengan balutan kesederhanaan.
Menariknya, pilihan ini bukan berarti menurunkan makna pernikahan.
Sebaliknya, menikah di KUA kini dianggap sebagai representasi gaya hidup baru yang lebih realistis dan berfokus pada esensi pernikahan itu sendiri.
Salah satu alasan utama popularitas pernikahan di KUA adalah pertimbangan finansial.
Tidak bisa dipungkiri, menyelenggarakan pesta pernikahan memerlukan biaya besar mulai dari sewa lokasi, rias pengantin, katering, hingga suvenir.
Namun di tengah tekanan ekonomi dan kebutuhan hidup yang terus meningkat, konsep pernikahan sederhana jadi lebih masuk akal.
Terlebih jika prosesi digelar di KUA pada hari kerja, pasangan pengantin bahkan bisa menikah tanpa dikenakan biaya.
Dana puluhan hingga ratusan juta yang biasanya dialokasikan untuk pesta dapat dialihkan ke hal yang lebih bermanfaat, seperti membeli rumah, mempersiapkan dana pendidikan, atau tabungan keluarga.
Artinya, pernikahan sederhana memungkinkan pengelolaan keuangan yang lebih bijak sejak awal rumah tangga dibangun.
Lebih dari sekadar penghematan, Gen Z juga menawarkan perspektif baru tentang pernikahan.
Mereka tidak lagi melihatnya sebagai ajang pamer atau pertunjukan status sosial. Sebaliknya, pernikahan adalah titik awal kehidupan baru yang sakral dan bermakna.
Prosesi yang privat dan minim ekspektasi dari lingkungan sekitar memberikan kenyamanan psikologis bagi pasangan. Kehadiran keluarga inti di hari bahagia pun menjadi sumber dukungan moral yang sangat berarti.
Tak hanya itu, pilihan menikah di KUA juga sejalan dengan gaya hidup minimalis yang mulai diterapkan banyak anak muda.
Mereka menghindari kerumitan dalam mengatur vendor, mengelola tamu, serta logistik yang melelahkan.
Daripada menguras tenaga dan waktu untuk pesta megah, menikah secara praktis di KUA dirasa lebih efisien dan menenangkan.
Fenomena ini bukan semata-mata bentuk penolakan terhadap tradisi, melainkan pernyataan sikap hidup.
Gen Z berani menentukan pilihan hidup berdasarkan nilai dan kebutuhan pribadinya.
Kesederhanaan dalam pernikahan tidak berarti kehilangan makna. Justru dari langkah kecil ini, makna sejati dari sebuah pernikahan kembali dihidupkan bahwa menikah bukan untuk tampil megah, melainkan membangun komitmen dan kehidupan bersama yang bermakna.
[Redaktur: Ajat Sudrajat]