Melansir CNBC Indonesia, guna memahami penjelasannya, kita harus memundurkan waktu ke tahun 1870. Kala itu, Belanda meresmikan kebijakan pintu terbuka atau liberalisasi ekonomi menggantikan sistem tanam paksa.
Sekilas perubahan ini membawa angin segar karena dinilai mampu menyejahterakan masyarakat. Namun, kenyataannya tidak.
Baca Juga:
Pembentukan Kopdes Merah Putih Diatur Inpres, Dana Modal dari Skema Pinjaman
Menurut Jan Luiten van Zanden dan Daan Marks dalam Ekonomi Indonesia 1800-2010 (2012), liberalisasi ekonomi justru melahirkan rezim kolonial baru yang di dalamnya terjadi pengambilalihan perkebunan rakyat untuk diubah menjadi perkebunan besar dan pabrik gula.
Situasi ini kemudian membuat kehidupan masyarakat terpuruk, khususnya para petani kecil di Jawa yang semakin terperosok ke dalam jurang kemiskinan. Sebab, mereka tak lagi memiliki kuasa atas lahan perkebunan.
Pada sisi lain ada juga masyarakat yang sejahtera dari sistem ini. Mereka adalah pedagang, baik dari kalangan pribumi atau Tionghoa, yang dalam sekejap menjadi orang kaya baru.
Baca Juga:
Korupsi Rp 2 Miliar, Mantan Teller Ditangkap setelah 8 Tahun Jadi Buronan
Kenaikan pesat kekayaan mereka lantas menimbulkan keheranan bagi para petani yang kian melarat itu. Para petani bingung darimana asal-usul kekayaan mereka.
Perlu diketahui saat itu para petani hidup apa adanya. Menurut Ong Hok Ham dalam Wahyu yang Hilang Negeri Yang Guncang (2019), mereka menganut sistem subsisten.
Artinya, bertani sekedar cukup untuk konsumsi sendiri. Jika ada hasil tani lebih, maka akan diberi sebagai upeti atau dijual.