“Padahal tanggung jawab keluarga itu harusnya dibagi, bukan hanya menekan istri sampai stres karena dianggap boros,” ucap Prasanti.
Ia menilai, fenomena viral ini sebenarnya menggambarkan ironi masyarakat yang cenderung memuja penghematan ekstrem, tanpa mempertimbangkan realitas ekonomi dan kesehatan keluarga.
Baca Juga:
5 Cara Sederhana Menjaga Kesehatan Mental agar Hidup Lebih Bahagia
Tren ini bahkan bisa melahirkan stigma bahwa istri tidak pandai mengatur keuangan jika tidak mampu mengelola uang belanja Rp 10.000 untuk tiga kali makan keluarga.
Situasi tersebut berpotensi memicu konflik rumah tangga jika komunikasi antara pasangan tidak berjalan sehat.
“Tekanan yang tidak realistis bisa memicu stres kronis dan perasaan gagal pada istri, karena merasa tidak mampu memenuhi tuntutan yang sebetulnya mustahil,” jelas Joko.
Baca Juga:
Psikolog Ingatkan OCD Bisa Hambat Hidup Sehari-Hari, Bukan Hanya Kebiasaan Rapi
Prasanti menambahkan, tren ini seolah menjadi bentuk “lomba penghematan” yang bisa berbahaya, karena mendorong pasangan untuk mengorbankan kualitas hidup dan gizi keluarga.
Menurutnya, suami-istri boleh berhemat, tapi harus tetap realistis dan saling berbagi tanggung jawab dalam mengelola nafkah.
Joko pun menekankan bahwa kesehatan tetap harus diutamakan dalam pengeluaran belanja sehari-hari.