WahanaNews.co | Pangdam Jaya, Mayjen TNI Dudung Abdurachman, menjadi sorotan setelah mengancam membubarkan Front
Pembela Islam (FPI).
Pernyataan itu ia
lontarkan, karena FPI dianggap meresahkan masyarakat beberapa waktu ini.
Baca Juga:
Analis: Bebasnya Rizieq Bisa Jadi Bara Politik 2024
Kemendagri sebelumnya juga menyatakan status FPI sebagai ormas
tidak terdaftar sejak Juni 2019.
Hal itu karena ada syarat yang belum dipenuhi untuk
memperpanjang Surat Keterangan Terdaftar (SKT).
Terkait hal ini, pakar hukum
tata negara, Prof Jimly Asshiddiqie, mengatakan, FPI seharusnya tidak diakui sebagai
organisasi resmi.
Baca Juga:
Habib Rizieq Bebas Bersyarat, Apa Artinya?
"Sekarang apa yang mau dibubarkan? Orang dia (FPI) tidak terdaftar
di pemerintah. Sebetulnya FPI ini sudah tidak terdaftar sebagai badan hukum.
Maka dia tidak diakui sebagai organisasi resmi. Jikalau dia mengadakan
kegiatan-kegiatan mengatasnamakan organisasi, kegiatan politik, ya bisa saja
dilarang," kata Jimly kepada wartawan, Selasa (24/11/2020).
Jimly mengatakan, akan lebih ideal jika undang-undang (UU)
Organisasi Kemasyarakatan (Ormas)
direvisi.
Hal ini bertujuan untuk membedakan mana yang termasuk organisasi
politik (orpol) dan ormas.
Jimly menjelaskan, ada tiga kategori orpol. Pertama partai
politik, kedua orpol yang tujuannya politik namun tak disebut sebagai partai
politik, serta ormas yang berafiliasi dengan partai politik atauunderbow.
"Nah, tiga kategori ini adalah orpol. Ini harus dibedakan
dan dipisahkan dari pengertian ormas," jelas Jimly.
Jimly mengatakan, ormas sebaiknya juga netral politik, tidak
berpartai maupun berafiliasi dengan partai. Jika ormas berafiliasi dengan
partai, maka dia termasuk kategori orpol.
"Jadi dia harus netral politis dan ini yang harus diatur
dalam UU kepartaian, UU parpol, dan UU ormas. Sekalian direvisi. Nah,
manfaatkan kalau menurut saya RUU pemilu yang sekarang sudah akan masuk
prioritas tahun depan ini," ucapnya.
FPI Cenderung Politis
Jimly menjelaskan, baik ormas maupun orpol semuanya harus
berstatus badan hukum. Untuk mendapatkan status badan hukum, dia harus
terdaftar dengan syarat-syarat tertentu. Jika tidak terdaftar, maka dia tidak
diakui sebagai badan hukum.
"Untuk kasus FPI mungkin adakan dulu lah pendekatan
persuasi. Jadi selama organisasinya dia tidak berbadan hukum, dia tidak boleh
ikut lalu lintas hukum perdata dan sebagainya," ucapnya.
"Kalau dalam praktik, ini (FPI) kayak orpol. Jadi memang ke
depan harus ditertibkan. Ya terserah kalau aturannya sudah tegas, semua pihak
itu harus memilih. Kalau Anda mau menjadi ormas, ya ormas. Kalau mau menjadi
orpol, ya orpol," sambungnya.
Pemerintah sebelumnya pernah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI) lantaran dianggap bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Namun,
menurut Jimly, kasus FPI dengan HTI berbeda.
"Kalau HTI kan lebih terang-terangan sebagai partai. Kalau
ini (FPI) dia kan gak. Dia kan organisasi sosial tapi di anggaran dasarnya
menyebut khilafah juga, tapi dengan persepsi yang beda. Semua orang menggunakan
istilah khilafah itu dengan makna dan pengertiannya masing-masing,"
ujarnya.
Jika tak terima dibubarkan, FPI kata Jimly, bisa membela diri
dengan mengajukan gugatan ke pengadilan. Dia menambahkan, terkait pembubaran
ormas, Kemendagri yang berwenang membubarkan dengan cara mencabut status badan
hukum ormas.
"Tapi, peraturan yang ada di UU (ormas) memang belum tegas.
Pengaturannya itu banyak celah-celah, banyak lubang. Yang paling baik itu,
perbaiki dulu UU-nya sambil FPI ini dibimbing, dibina, diarahkan dengan
persuasi," jelas Jimly.
Larangan dan Sanksi bagi Ormas dalam UU Nomor 16 Tahun
2017
Larangan dan sanksi bagi ormas tercantum dalam UU Nomor 16 Tahun
2017. Berikut ini isinya.
Pasal
59
(1)
Ormas dilarang:
a. menggunakan nama, lambang, bendera, atau atribut yang sama dengan nama,
lambang, bendera, atau atribut lembaga pemerintahan;
b. menggunakan dengan tanpa izin nama, lambang, bendera negara
lain atau lembaga/ badan internasional menjadi nama, lambang, atau bendera
Ormas; dan/atau
c. menggunakan nama, lambang, bendera, atau tanda gambar yang
mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang,
bendera, atau tanda gambar Ormas lain atau partai politik.
(2) Ormas dilarang:
a. menerima dari atau memberikan kepada pihak manapun sumbangan
dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan / atau
b. mengumpulkan dana untuk partai politik.
(3) Ormas dilarang:
a. melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau
golongan;
b. melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap
agama yang dianut di Indonesia;
c. melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan
ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial; dan/atau
d. melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak
hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Ormas dilarang:
a. menggunakan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi
yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama,
lambang, bendera, atau simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi
terlarang;
b. melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
c. menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham
yang bertentangan dengan Pancasila.
Bagi ormas yang melanggar aturan itu, ada sanksi administratif
berupa peringatan tertulis, penghentian kegiatan, hingga pencabutan surat
keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum. [dhn]