Haryo menjelaskan, proses pengeringan sampah menjadi RDF dilakukan secara mekanis melalui pembakaran sebagian produk RDF dengan suhu 800–1.000 °C. Gas panas hasil pembakaran kemudian dialirkan melalui Cyclone, Baghouse Filter, Wet Scrubber, Wet Scrubber tahap 2, Wet Electrostatic Precipitator (Wet ESP), hingga filter karbon aktif sebelum dilepas melalui cerobong.
Menurut Haryo, sistem Cyclone, Baghouse Filter, dan Wet ESP mampu menangkap partikulat besar hingga halus berukuran mikron. Sementara itu, Wet Scrubber tahap 1 dan 2 berfungsi mereduksi gas polutan masam melalui reaksi kimia dengan natrium hidroksida. Adapun filter karbon aktif menyerap senyawa organik, termasuk gas kebauan, sehingga kualitas udara tetap terjaga.
Baca Juga:
Kabar Gembira! ITB Bakal Bangun Asrama Mahasiswa dan Laboratorium di Kampus Cirebon
Hal ini juga diakui oleh Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo. Menurutnya, RDF Plant Rorotan sudah bebas dari bau dan asap.
Dia menyebut, persoalan bau justru timbul dari air lindi yang berceceran dari truk pengangkut sampah. Karenanya, untuk sementara, kapasitas RDF Plant Rorotan, diturunkan dari 2.500 ton menjadi 1.000 ton per hari. Sambil menunggu kesiapan truck compactor pengangkut sampah.
RDF Rorotan, sebagai yang terbaik didunia mengolah sampah yang sangat basah, menjadi bahan bakar.
Baca Juga:
Berita Duka! Fisikawan Indonesia, Prof. Pantur Silaban Ph. D, Tutup Usia 84 Tahun
Inventor RDF Rorotan, Poltak Sitinjak, yang telah mempatenkan system RDF tersebut, mengatakan bahwa RDF Rorotan adalah yang terbesar dan terbaik di dunia. Dari sampah masuk 2.500 ton, keluar menjadi RDF 875 ton.
“Seluruh RDF yang telah dikemas/dipacking tersebut dibeli oleh pabrik semen, indocement dengan harga USD 24-44 per ton,” tutup Poltak.
[Redaktur: Alpredo Gultom]