WahanaNews.co | Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengecam pemberian label hoaks terhadap artikel berita mengenai kasus kekerasan seksual, hasil reportase Project Multatuli.
Label hoaks tersebut diberikan oleh Polres Luwu Timur, Sulawesi Selatan, melalui akun Instagram, @humasreslutim.
Baca Juga:
Soroti Kekerasan Terhadap Jurnalis Perempuan, AJI: SOP Belum Maksimal
“Laporan tersebut telah berdasarkan penelusuran dan investigasi kepada korban dengan melalui proses wawancara dengan pihak terkait, termasuk Kepolisian Luwu Timur,” jelas Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia, Erick Tanjung, melalui keterangan tertulis, Kamis (7/10/2021).
Erick menegaskan, label hoaks itu menyebabkan ketidakpercayaan publik pada kerja jurnalisme yang profesional dan disusun sesuai kode etik jurnalistik.
Pelabelan tersebut bermula dari unggahan artikel Project Multatuli di situs projectmultatuli.org yang berjudul Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan, pada Rabu (6/10/2021).
Baca Juga:
Pengeroyokan Jurnalis CNN Indonesia di Papua Dikecam AJI
Artikel itu melaporkan kasus seorang ibu bernama Lydia (nama samaran) yang melaporkan dugaan pemerkosaan terhadap tiga anak kandungnya.
Kekerasan seksual itu diduga dilakukan oleh mantan suaminya pada 2019.
Lydia mengaku saat itu telah melaporkan perkara ini ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Luwu Timur, serta Polres Luwu Timur.
Namun, dalam cerita Lydia, ia tidak mendapatkan keadilan dari dua instansi tersebut dan malah disebut mengidap gangguan kesehatan mental.
Pada 10 Desember 2019, Polres Luwu Timur menghentikan proses penyidikkan.
Mantan suami Lydia disebut merupakan aparatur sipil negara (ASN) di kantor pemerintahan Luwu Timur.
Reportase Project Multatuli itu lantas disebarluaskan melalui media sosial.
Kemudian, Polres Luwu Timur menulis klarifikasi di kolom komentar akun Instagram Project Multatuli.
Klarifikasi itu disampaikan dengan menyebut nama asli dari Lydia.
Project Multatuli kemudian menghapus komentar tersebut.
Tak berselang lama, akun Instagram Polres Luwu Timur, melalui Instagram stories, menyatakan, hasil reportase yang dilakukan Project Multatuli merupakan hoaks.
AJI Indonesia menyayangkan tindakan aparat kepolisian tersebut.
Erick menuturkan, pemberian cap hoaks secara serampangan atas sebuah berita dapat dikategorikan sebagai kekerasan terhadap jurnalis.
“Pasal 18 Undang-Undang Pers menjelaskan sanksi pidana bagi orang yang menghambat atau menghalangi jurnalis dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik dapat dikenai pidana maksimal dua tahun penjara dan denda maksimal Rp 500 juta,” paparnya.
Selain itu, Erick mendesak Polres Luwu Timur melakukan pencabutan label hoaks dan meminta maaf secara terbuka.
Ia menilai, praktik semacam itu berpotensi sebagai tindakan pembungkaman terhadap pers.
“Ini akhirnya dapat merugikan publik karena tidak mendapatkan berita sesuai dengan fakta,” imbuh dia.
Sementara itu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Rusdi Hartono, menyatakan, penyelidikan perkara dugaan pemerkosaan di Luwu Timur masih bisa dilakukan jika ditemukan bukti baru.
Kasus tersebut, lanjut Rusdi, dilaporkan pada 2019.
Penyidik Polres Luwu Timur telah berupaya menindaklanjuti laporan, namun dalam proses penyelidikan tidak ditemukan cukup bukti. [qnt]