Dengan pengakuan ini, menurut Hilman nantinya santri yang telah menempuh pendidikan di pondok pesantren, bisa memiliki hak yang sama dengan mereka yang menempuh pendidikan di lembaga pendidikan formal hingga bisa mendaftar CPNS hingga menjadi bupati.
Yang kedua, lanjut Hilman, selain soal pengakuan negara pada proses kependidikan di pondok pesantren, adalah soal sanad ilmu yang dimiliki seorang ustad atau kyai. Hal ini agar tidak ada lagi ustad-ustad bodong yang sanad ilmu dan tempat belajarnya tidak jelas.
Baca Juga:
Ini Perbandingan Sistem Pendidikan Indonesia dengan Singapura
"Kyai itu harus memiliki jejak pesantren, dia mondok dimana, sanad ilmunya kemana. Itu penting, harus ditelusuri. Kalau sanadnya terputus, itu salah," tegasnya.
Hilman menyampaikan, sanad keilmuan penting karena belajar agama, tidak bisa hanya disandarkan pada kemampuan menelaah orang per orang dan mengajarkan agama berdasarkan pemahaman sendiri. Namun, harus ada cantolan ilmu hingga ke Baginda Rasulullah SAW.
"Misalnya saya belajar kitab syafinah, darimana belajarnya, dari kyai A, kyai belajar dari kyai B, terus sampai pada pengarang kitabnya, pengarang kitabnya ke gurunya hingga sampai ke Baginda Rasul," jelasnya.
Baca Juga:
Simak Perbedaan dan Persamaan Sistem Pendidikan Indonesia dengan Negara Lain
Selain kedua hal tersebut, seperti misalnya soal kewajiban pemerintah memfasilitasi fasilitas pondok pesantren, menurut Hilman itu adalah hal kecil.
"Mindsetnya adalah negara hadir untuk memberikan bantuan. Bukan itu semangatnya, itu yang paling bawah, tapi semangat besarnya adalah negara mengakui pendidikan di pesantren," tegas Hilman yang juga salahsatu pengasuh Pondok Pesantren Fauzan.
Sementara itu, Anggota Komisi IV DPRD Garut Juju Hartati mengakui, tahun ini pihaknya mulai melakukan pembahasan Perda Pondok Pesantren yang akan jadi Perda inisiatif DPRD Garut.