WahanaNews.co | Konflik bersenjata di Papua belakangan itu terus
terjadi dan telah menimbulkan banyak korban. Tidak hanya dari TNI dan
Kepolisian, konflik bersenjata yang terjadi di Papua juga telah banyak memakan korban dari masyarakat sipil.
Pengamat militer dan intelijen, Susaningtyas NH Kertopati,
menjelaskan, konflik bersenjata yang terjadi di Papua hanya terjadi di sejumlah
titik rawan. Di sebagian besar wilayah lainnnya, situasi Papua masih kondusif
dan terjaga dengan aman dan baik.
Baca Juga:
Tragedi Sadis di Puncak Papua: KKB Ngamuk Gegara Perselingkuhan, 3 Nyawa Melayang
"Sesungguhnya tidak semua wilayah di Papua merupakan titik
rawan. Masih ada daerah yang aman damai," kata wanita yang akrab disapa
Nuning itu, di Jakarta, Kamis (29/10/2020).
Menurutnya, situasi geopolitik di Papua saat ini juga banyak
dipengaruhi isu hangat berakhirnya jangka waktu penerimaan dana dalam rangka
otonomi khusus (Otsus) seperti tertulis di UU 21/2001 Pasal 34 ayat (6)
yang berlaku selama 20 tahun. Kondisi ini dinarasikan oleh kelompok pendukung
separatisme Papua sebagai berakhirnya masa berlaku undang-undang Otsus.
"Hal ini menimbulkan pertentangan baru di kalangan
masyarakat papua tentang apakah Otsus perlu dilanjutkan atau tidak," ujar
Nuning.
Baca Juga:
Papua Memanas: TNI Dituduh Siksa Warga Sipil, Koalisi HAM Ungkap Fakta Mengejutkan
Dirinya mengingatkan, dalam hal menjaga keamanan di Papua tentu
Pemda harus turut berperan bukan lalu hanya bergantung kepada TNI dan Polri
saja. Kiranya keterlibatan Pemda tersebut mampu menghasilkan suatu kebijakan
penanganan keamanan dengan tanpa mendorong reproduksi kekerasan di Papua.
"Alangkah baiknya bila ancaman diselesaikan secara damai
sesuai aturan dan tanpa kekerasan. Dialog pada setiap wilayah adat dengan model
keterwakilan berbasis suku," ujarnya.
Dikatakan Nuning, meski Presiden Jokowi sering ke Papua tetapi
masalah akan tetap muncul bila pemahaman Geopolitik dan Etnografi pihak
pelaksana lapangan masih sangat kurang.
Belum lagi terkait situasi kondisi menjelang Pemilu Desember
2020, asesmen terhadap isu-isu yang dimainkan oleh para kandidat, khususnya isu
ekonomi, isu pengangguran dan PHK yang berpontesi menimbulkan kemarahan
sekelompok orang terhadap pemerintah pusat, atau terhadap sistem pemerintahan
demokrasi.
"Di samping
itu, isu-isu primer seperti langkanya harga pupuk, turunnya harga jual pangan
juga perlu dimonitor karena berpotensi dieksploitasi untuk menciptakan instabilitas
saat pilkada Desember 2020," ungkapnya.
Saat ini, pemerintah pusat maupun daerah perlu melakukan
profiling peta kerawanan daerah yang akan melakukan pilkada pada Desember 2020.
Khususnya adalah daerah dengan proyeksi resiko tinggi seperti di daerah-daerah
di propinsi Papua dan Papua Barat. [qnt]