WahanaNews.com, Jakarta - Persoalan pengukuran kawasan hutan dan penetapan batas kawasan hutan di beberapa kecamatan di wilayah keadatan Amanuba, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), ditanggapi tokoh muda Timor, Omega DR Tahun di Jakarta.
Kawasan keadatan ini–dahulu adalah bekas Kerajaan Amanuban (Banam) Timor–sekarang berada di kecamatan, Ki’e, Amanuban Timur, Fatumolo, dan Fatukopa.
Baca Juga:
Wapada! Sabtu Pagi Ini Gunung Lewotobi Laki-Laki Erupsi 3 Kali
Ungkap Tahun, berdasarkan surat dari Balai Penetapan Kawasan Hutan dan Tata Lingkungan (BPKH-TL) Wilayah XIV Kupang, Nomor: S.348.BPKTHL/PPKH/PLA.2/2023, tanggal 15 Agustus 2023 tentang Batas-Batas Kawasan Hutan Laob Tunbes.
Plang pemberitahuan kepada warga, [WahanaNews.co / Omega Tahun].
Lanjut Tahun, tindakan pengukuran batas kawasan hutan ini, mengakibatkan masyarakat yang menetap di desa di wilayah Amanuban merasa khawatir dan berupaya mencari perlindungan ke pelbagai pihak.
Baca Juga:
Risma Kembali Ngamuk ke Pendamping PKH di NTT: Ini Dosa Kalian Semua!
“Ada banyak masyarakat yang resah dan menolak tindakan pengukuran ini, karena Tim PBKH-TL melakukan pengukuran dan mengklaim, bahwa pemukiman masyarakat, situs sejarah Tunbes dan kebun-kebun warga masuk dalam kawasan hutan. Padahal, lahan tanah tersebut telah diduduki penduduk secara turun-temurun sejak puluhan, bahkan ratusan tahun, jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa di Pulau Timor,” ujar Omega kepada WahanaNews.co di Kantor PWI Kota Depok, Senin (11/9/2023).
Literasi, tercatat ada sekira 42 desa di seluruh Amanuban yang terkena dampak pengukuran ini. Bahkan, ada sejumlah desa diperkirakan 75% - 100% wilayahnya masuk kawasan hutan. Dengan demikian, masyarakat potensi tak memiliki hak atas tanah tersebut, sifatnya adalah hak guna pakai selama 35 tahun.
“Mutakhir, situasi ini kemudian pemerintah harus menjamin hak-hak warganya, sebagai orang TTS. Kami mengingatkan pemerintah supaya menghormati dan melindungi hak masyarakat adat atas kepemilikan tanah, termasuk masyarakat adat Amanuban.” pesan Omega.
Tampak para tetua keadatan Amanuba, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), sedang bermufakat tanggapi persoalan pengukuran kawasan hutan dan penetapan batas kawasan hutan di beberapa kecamatan di wilayah keadatan Amanuba oleh Balai Penetapan Kawasan Hutan dan Tata Lingkungan (BPKH-TL) Wilayah XIV Kupang, beberapa waktu yang lalu, [WahanaNews.co / Omega Tahun].
Tahun ingatkan kembali, di Kabupaten TTS masih terdapat banyak masyarakat pemilik tanah yang kemungkinan besar belum bersertifikat atau bukti kepemilikan lainnya, lantaran tanah yang ada adalah tanah ulayat atau tanah warisan yang sudah ada turun-temurun.
Omega Tahun tegaskan, pemerintah supaya ke hadapan, dialog dengan masyarakat dan tokoh-tokoh adat. Khususnya, tokoh adat masyarakat Amanuban untuk penetapan kawasan hutan ini tidak menimbulkan keresahan dan ketakutan di masyarakat.
“Saya yakin, masyarakat akan mendukung segala bentuk program pemerintah bila ada dialog antara pemerintah dengan masyarakat dan para pemangku kepentingan di daerah ini. Kita mesti hindari konflik atas persoalan tanah, dan kita tidak mau kasus penetapan batas Kawasan Hutan Laob menimbulkan masalah seperti kasus Besipae,” bilang Omega.
Tahun khawatirkan, tindakan pengukuran dan klaim sepihak yang dilakukan oleh Tim PBKH-TL tanpa adanya dialog dengan masyarakat, dapat menimbulkan konflik agraria yang berkepanjangan di Kabupaten TTS.
“Kasihan masyarakat. Kondisi hidup masyarakat yang miskin, ditambah kasus stunting yang tinggi, gizi buruk, dan indeks pertumbuhan manusia yang rendah ditambah pula konflik agraria yang berkepanjangan, hanya akan semakin menyengsarakan masyarakat di wilayah ini,” kisah Omega.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini, Tahun mengimbau dan mengajak seluruh pihak untuk bersinergi membangun TTS tanpa menimbulkan keresahan, ketakutan, ketidakadilan, dan konflik di masyarakat.
[Redaktur: Andri F Simorangkir]