WahanaNews.co | Salah satu peserta seleksi Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Komisi Pemiluhan Umum (KPU) Sumedang yang lolos 15 besar mempertanyakan transparansi pelaksanaan tes wawancara hingga barometer kelulusan untuk menjadi seorang PPK.
Peserta asal Desa Buanmekar, Kecamatan Cibugel, Kabupaten Sumedang, Tisno Sutisna menilai, jika tes wawancara 15 besar yang dilaksanakan beberapa waktu lalu terdapat beberapa kejanggalan.
Baca Juga:
Rapat Kerja KPU Sumedang, Bahas Distribusi Logistik Pilgub dan Pilbup 2024
Menurut Tisno, dalam tes tersebut, dirinya hanya mendapatkan satu pertanyaan langsung dan satu pertanyaan tes tertulis.
"Isi dari tes tertulis hanya terkait visi dan misi PPK. Sedangkan dalam tes langsung hanya ditanyakan jika ada permasalahan di PPK, apakah saya akan koordinasi dengan KPU atau saya selesaikan sendiri," ujarnya, Minggu (18/12/2022).
Tisno menilai, pertanyaan yang diberikan oleh KPU tersebut kurang tepat. Seharusnya, KPU memberikan pertanyaan lebih terfokus akan tugas dan wewenang sebagai PPK terkait kepemiluan, kewilayahan atau wawasan lain yang sifatnya umum.
Baca Juga:
KPU Sumedang Temukan Sejumlah Surat Suara Rusak Saat Penyortiran dan Pelipatan
"Saya jadi penasaran, yang menjadi ukuran KPU bisa meloloskan seseorang itu darimananya. Selain itu nilai dari hasil tes wawancara tersebut juga tidak dipublikasikan," ungkapnya.
Sementara itu, Tisno yang menyebut telah berpengalaman dalam pemilu menyesalkan dengan hasil akhir dari test PPK tersebut.
Padahal, Tisno mengaku dirinya berpengalaman di pemilu mulai dari menjadi KPPS, PPS hingga PPK.
"Dari sisi usia pun sudah sesuai undang-undang untuk bisa menjadi PPK. Tapi kenapa yang lolos 5 besar justru orang yang tidak punya pengalaman sama sekali," terangnya.
Tak hanya itu, lanjut Tisno, hal yang dirasa aneh juga terjadi pada hasil kelulusan. Di mana ada 2 nama orang dengan satu orang yang sama.
"Namanya muncul di rangking 5 besar dan 10 besar (cadangan). Muncul pertanyaan apakah ini sifatnya titipan atau adanya nepotisme," sebutnya.
Bahkan, Tisno juga menambahkan jika terkait rangking kelulusan juga seolah tidak objektif. Di mana kepala kalah sama ekor.
"Ranking tertinggi kalah sama ranking yang rendah. Salah satu contohnya yang mendapatkan hasil CAT dengan skor 97 bisa kalah dengan yang hanya mempunyai skor 73," pungkasnya, dengan nada kesal. [sdy]