WAHANANEWS.CO, Jakarta - Di balik rimbun kebun sayur dan vila-vila yang berjajar manis di lereng perbukitan Bandung, sebuah patahan raksasa sedang menyimpan kegelisahan panjang yang nyaris terlupakan.
Sesar Lembang, patahan aktif sepanjang sekitar 29 kilometer dari Padalarang hingga Jaten, kini dinilai berada pada fase paling rawan setelah ratusan tahun menahan energi bumi.
Baca Juga:
Kemenko PMK Pimpin Koordinasi Besar Atasi Banjir dan Longsor Bandung
Setelah lebih dari lima setengah abad tanpa gempa besar, sinyal pergerakan di bawah Bandung Raya kembali menguat dan memunculkan ancaman nyata gempa signifikan.
Bagi sebagian warga, Sesar Lembang mungkin hanya istilah geografis yang akrab di buku sekolah atau obrolan santai, tetapi bagi para peneliti kebumian, setiap sentimeter patahan itu adalah tabungan energi yang menunggu waktu pelepasan.
Peneliti Pusat Riset Kebumian dan Maritim BRIN, Mudrik Rahmawan Daryono, menyebut sesar ini telah mencapai fase kritis akumulasi energi seismik.
Baca Juga:
Puan Maharani Desak Pemerintah Perkuat Mitigasi Bencana Pascabencana Banjir Bandang Sumatera
Pernyataan itu diperkuat oleh temuan lapangan di Situs Batu Lonceng, kawasan Lembang, tempat dilakukan penggalian paritan geologi untuk membaca jejak gempa purba.
"Ini adalah bukti nyata," kata Mudrik.
Dalam pemaparannya pada Diskusi Daring Tematik 9 Bandung Executive Forum: Waspadai Sesar Lembang dan Gempa serta Dampaknya, Sabtu (20/12/2025), Mudrik menjelaskan bahwa lapisan tanah unit 600 di lokasi tersebut ditemukan robek dan bergeser secara vertikal sekitar 40 sentimeter.
"Jika kita hitung rasio pergerakan vertikal dan horizontalnya, pergeseran totalnya bisa mencapai lebih dari 1,5 meter," ujarnya.
Jejak luka di perut bumi itu menjadi petunjuk waktu yang presisi mengenai gempa besar terakhir yang diperkirakan terjadi pada rentang 1450 hingga 1460 Masehi.
Sejak peristiwa itu, sesar Lembang memang tampak diam, namun dalam perspektif geologi, kondisi tersebut justru berarti proses penumpukan tegangan berlangsung perlahan dan terus-menerus.
Dengan laju geser rata-rata sekitar 3,5 milimeter per tahun, selama 560 tahun terakhir sesar ini diperkirakan telah menyimpan potensi pergeseran antara 1,6 hingga 3 meter.
"Jika angka ini dikonversi ke dalam kekuatan gempa, maka magnitudonya bisa berkisar 6,5 hingga 7,0," ungkap Mudrik.
Besaran tersebut dinilai cukup untuk menyebabkan kerusakan serius pada kawasan sepadat Bandung Raya jika terjadi tanpa mitigasi memadai.
Dalam penjelasannya, Mudrik juga menautkan temuan ilmiah ini dengan legenda Sangkuriang yang telah lama hidup dalam ingatan kolektif masyarakat Jawa Barat.
Menurutnya, kisah terbentuknya danau dalam satu malam selaras dengan mekanisme oblique-slip atau geser naik yang dimiliki Sesar Lembang.
"Secara geologi, fenomena danau yang terbentuk tiba-tiba sangat mungkin terjadi dalam satu peristiwa gempa besar tunggal," jelasnya.
Jika sisi selatan patahan bergerak naik relatif terhadap sisi utara, aliran sungai yang mengarah ke utara dapat tertahan secara mendadak dan membentuk genangan luas.
Bentang alam berupa perbukitan memanjang barat-timur di utara Bandung pun dinilai sebagai jejak nyata pergeseran tektonik yang berlangsung selama puluhan ribu tahun.
Ironisnya, kawasan yang menyimpan potensi bahaya ini kini justru dipadati permukiman, hotel, objek wisata, sekolah, dan rumah ibadah yang berdiri tepat di atas jalur patahan aktif.
Minimnya edukasi visual dan penanda kebencanaan membuat banyak warga merasa aman di balik panorama indah Cekungan Bandung.
Dalam perbandingan global, Mudrik menilai Indonesia masih tertinggal dalam manajemen riset pra-bencana meskipun dikenal sebagai wilayah rawan gempa.
Ia mencontohkan Jepang dan Taiwan, di mana setiap sesar aktif diperlakukan sebagai objek riset prioritas dengan pendanaan besar dan penggalian mendalam.
"Untuk menyelamatkan kota sebesar Bandung, kita butuh galian sedalam lima meter agar sejarah gempa bisa terbaca utuh," tegasnya.
Di negara-negara tersebut, jejak patahan tidak ditutup kembali, melainkan dipugar dan dijadikan museum sesar aktif sebagai sarana edukasi publik.
Mudrik berharap pendekatan serupa dapat diterapkan di Indonesia tanpa harus menunggu bencana besar terjadi.
"Saya ingin kita membangunnya sekarang sebagai instrumen antisipasi," ujarnya.
Ancaman dari Sesar Lembang tidak hanya berasal dari garis patahannya, tetapi juga dari gelombang guncangan yang dapat merambat jauh.
Pemodelan skenario gempa menunjukkan intensitas guncangan berpotensi mencapai skala VIII hingga IX MMI, yang mampu merobohkan bangunan berkonstruksi lemah dan merusak struktur kuat.
Seluruh wilayah Bandung Raya, termasuk Kota Bandung, Cimahi, Kabupaten Bandung, dan Bandung Barat, diperkirakan akan mengalami dampak signifikan.
Getaran kuat bahkan diprediksi dapat dirasakan hingga wilayah Purwakarta dan Subang.
Kajian seismik terbaru juga mencatat adanya gempa-gempa kecil atau mikro di sepanjang badan sesar sebagai indikasi tekanan yang terus mencari jalan keluar.
Di tengah keterbatasan riset dan belum ketatnya aturan tata ruang di jalur sesar, mitigasi mandiri dinilai menjadi langkah krusial.
"Bangunan di Jawa secara teori harus mampu menahan gempa magnitudo 6,5," kata Mudrik.
Ia menyarankan penguatan struktur siku bangunan tua serta pengamanan perabot besar seperti lemari dan kulkas agar tidak membahayakan penghuni saat gempa.
Warga juga diimbau mengenali titik aman di dalam rumah, seperti kolong meja kayu yang kokoh atau area terlindung lainnya.
Kesadaran tersebut dinilai harus tertanam sebagai insting karena gempa bumi tidak pernah datang dengan peringatan.
Sesar Lembang menjadi pengingat bahwa di balik keindahan alam Bandung, tersimpan ancaman yang menuntut kesiapsiagaan kolektif.
Selama lebih dari lima abad, alam seolah memberi waktu bagi manusia untuk belajar dan bersiap sebelum peristiwa besar terulang.
Pemerintah didorong untuk memperkuat riset kebumian, memperketat izin bangunan di sekitar jalur sesar, serta rutin menggelar simulasi kebencanaan.
Langkah-langkah tersebut dinilai jauh lebih murah dibandingkan biaya sosial dan ekonomi pasca-bencana.
"Kita tidak bisa mencegah bumi bergerak, tetapi kita bisa memilih untuk tidak menjadi korban dari ketidaktahuan kita sendiri," pungkas Mudrik.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]