b. Kader digital & influencer lokal
Alih-alih hanya menampilkan tokoh partai, banyak tim merekrut influencer lokal, konten kreator kampung, dan “kader digital” — relawan yang diberi materi kampanye, template posting, dan aset grafis untuk disebar. Tim Dedi-Erwan misalnya menekankan pengembangan talenta digital
sebagai strategi membangun narasi positif dan mobilisasi online.
Baca Juga:
Negara Gempar, Kandidat Presiden Kolombia Ditembak di Kepala Saat Kampanye
c. Micro-targeting & iklan terbayar
Dengan data demografis dan perilaku (usia, kecamatan, minat di medsos), tim kampanye menjalankan iklan tersegmentasi untuk menjangkau kelompok spesifik: guru, pedagang pasar, pelajar. Iklan ini dipakai untuk memaksimalkan return on ad spend (ROAS) di daerah dengan potensi suara mengambang.
d. Grup WhatsApp / Telegram tersegmentasi (offline→online)
Baca Juga:
Australia-Bali Perkuat Kerja Sama Lewat Kampanye Etika Wisata
Strategi klasik: relawan mengumpulkan nomor, lalu memasukkan warga ke grup-grup hyperlocal. Di sana disebarkan materi, jadwal kampanye, dan instruksi get out the vote (GOTV). Grup ini juga dipakai tim untuk verifikasi suara potensial dan merelokasi sumber daya saat diperlukan.
e. Data-driven rapid response & counter-narrative
Tim memiliki tim “digital ops” yang memonitor tren, isu negatif, dan hoaks. Bila ada narasi buruk, mereka menyiapkan counter content, konfirmasi faktual, atau push notifikasi ke jaringan relawan untuk menenggelamkan/meluruskan isu. Penelitian nasional menggarisbawahi peran double-edged media sosial: peluang mobilisasi sekaligus risiko disinformasi.