WahanaNews.co | Di ujung Jalan Tongkol, Pademangan, Jakarta Utara, sebuah tenda
beratap terpal kokoh berdiri.
Tak begitu besar, tapi cukup sebagai
tempat berlindung sejumlah ibu-ibu dan bocah dari gerimis yang turun di ibu
kota, Kamis (11/2/2021) sore.
Baca Juga:
Jokowi Gelar Rapat Revitalisasi Stadion dan Penyelenggaraan Liga Sepakbola
Beberapa meter dari tenda itu, empat
orang pria tengah beraktivitas. Bersepatu boot, lengkap dengan topi. Keempatnya
tampak membuat pondasi rumah.
Mereka semua adalah warga Kampung
Bayam, Papanggo, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Daerah ini terdampak proyek
pembangunan Jakarta International Stadium (JIS).
Pemandangan orang berteduh dan bekerja
yang terlihat itu bukan tanpa sebab.
Baca Juga:
Anies Siap Bangun 11 Stadion Bertaraf Internasional jika Menang Pilpres 2024
Salah seorang dari mereka, Husni
Mubarok, menceritakan kondisi warga yang ada di sana kepada wartawan.
"JakPro
(pengembang proyek JIS) tadi mendatangkan backhoe
(alat berat). Mereka
bilang, kedatangannya itu untuk
membuka saluran air. Tetapi, mereka datang dengan membawa surat bermeterai, meminta agar kita segera pindah,"
kata Husni, seraya
memperlihatkan surat tersebut.
Husni bilang, alat berat itu memang
sempat terlihat mengeruk selokan air. Namun, alat berat itu
juga bergerak ke arah rumah warga.
"Tambah maju. Terus kami bilang,
kalau maju lagi, kami enggak bisa tanggung, apakah ini (situasi) kondusif atau
tidak. Setelahnya, ada aba-aba, terus backhoe itu mundur," ucap dia.
Kilas Balik
Husni mengatakan, berdasarkan data
dari JakPro, total ada 627 Kepala Keluarga (KK) di Kampung Bayam yang
terdampak proyek JIS.
Pada 2019 lalu, kata dia, Gubernur DKI
Jakarta, Anies Baswedan, tak mau ada penggusuran di tempat
itu, namun istilahnya dilakukan penataan kampung.
"Pada 28 Agustus 2019, saat Rapim, Pak Anies berikan instruksi penataan kampung, untuk
mempertahankan konsep kampung. Beri instruksi ke pihak JakPro soal Kampung
Bayam. Tidak ada penggusuran, tapi penataan
kampung. Cuma dikembalikan lagi ke pihak JakPro seperti
apa," kata dia.
Setelah proses itu, ia menyebut pihak
Jakpro kemudian menurunkan konsultan atau surveyor ke warga untuk menilai bangunan.
Pemilik bangunan lantas diberikan
santunan sekitar Rp 28-40 juta, sementara pengontrak sekitar Rp 4-6 juta
secara bertahap.
Namun, negosiasi antara JakPro dan warga tidak berjalan mulus. Tak semua warga mau membuat
rekening untuk proses pencairan dana santunan.
Dari total sekitar 627 KK, ada 50 KK
yang keberatan untuk membuat rekening.
Warga sebanyak 50 KK ini, kata Husni,
merupakan Kelompok Urban Farming.
Husni sendiri merupakan Sekretaris di Urban
Farming.
"Karena kita keberatan, kita
minta ditata. Kita menagih janji," ucap dia.
Dalam perjalanannya, pada 27 Juli
2020, ia mengatakan ada pertemuan antara perwakilan Urban Farming dengan pihak JakPro.
Dalam pertemuan itu, pihak JakPro menyanggupi ketersediaan rumah deret sebanyak 50 unit yang
berdampingan dengan JIS.
"JakPro
menyanggupi ketersediaan rumah deret sebanyak 50 unit. Dan 14 unit diupayakan
dalam kualifikasi," ucap dia.
Setelah pertemuan itu, warga lalu
mencari pendampingan ke Urban Poor
Consortium dan Universitas Indonesia untuk
membantu merancang konsep kampung.
Sementara di sisi lain, proses
pencairan dana bagi warga lainnya yang telah membuat rekening terus berjalan
dan mereka berangsur-angsur meninggalkan Kampung Bayam.
"Agustus itu mulai pencairan
santunan, dan berangsur-angsur pergi meninggalkan lokasi, ada juga warga yang
pulang kampung," kata dia.
Tagih Janji Hunian
Usai adanya pernyataan kesanggupan
dari JakPro terkait 50 unit hunian, dalam praktiknya, Husni menyatakan,
tidak ada tindak lanjut yang dilakukan oleh pihak JakPro kepada warga
kelompok Urban Farming mengenai zonasi hunian jangka panjang.
Warga, kata dia, berusaha meminta
kejelasan kepada JakPro, terkait di mana
mereka akan ditempatkan, kapan proses pembangunan dimulai dan diselesaikan.
Namun warga tak kunjung mendapatkan titik
terang.
Di tengah ketidakpastian itu, warga
mencoba mencari jalan keluar dengan berkonsultasi kepada Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP).
Ia menyebut, TGUPP
lalu mencari lahan yang bisa untuk digunakan warga sebagai tempat hunian
sementara.
Lahan itu adalah yang terletak di
Jalan Tongkol.
"Kita kan menanti kepastian jangka panjang, namun belum ada kepastian,
kita mengajukan mediasi pendamping. Dari TGUPP mengarahkan ke sini
(Jalan Tongkol)," ucap dia.
Seiring dengan penyediaan lahan itu, warga
Urban Farming yang sebelumnya belum
membuat rekening, secara bertahap membuat.
Dana santunan ganti untung yang
diberikan, digunakan untuk keperluan membangun di lahan yang disediakan TGUPP.
"Karena mediasi TGUPP sudah
menyediakan hunian jangka pendek, lalu warga membuat rekening untuk membangun
di lahan Huntara (Hunian Sementara). Dimulai pembangunan Januari," kata
dia.
Ia mengatakan, warga
akan tetap bertahan di Kampung Bayam sebelum mendapat kejelasan dari pihak JakPro terkait dengan kepastian hunian jangka panjang.
Menurut dia, prinsip warga bukan
mengemis, melainkan menagih janji yang pernah disampaikan.
"Tuntutan warga penetapan lokasi
jangka panjang yang dikatakan berdampingan dengan JIS, dan kita dilibatkan
dalam proses itu. Jadi perekonomian kita dilibatkan. Kapan dimulai pembangunan,
kapan selesai, setelah itu kita akan pindahkan barang-barang kita ke hunian
sementara," ucap dia.
Sementara itu, salah seorang pihak
dari JakPro yang tidak mau disebutkan namanya,
mengatakan, pihaknya masih
dalam proses mengurus perizinan demi merealisasikan pembangunan 50 unit rumah.
Dia memastikan, kampung
deret akan dibangun sesuai dengan perjanjian sebelumnya dengan warga.
"Itu lagi diurus. Karena kalau
cuma bangun, bangun stadion aja bisa, masa bangun rumah enggak bisa, tapi
bangun apapun itu yang penting adalah aturan harus benar dan segala macam.
Sekarang masih diurus perizinan dan segala macam," kata dia, saat dihubungi wartawan, Kamis (11/2/2021) malam.
Lebih lanjut, selain terkait rumah
itu, ia mengatakan bahwa warga sebenarnya telah menerima kompensasi melalui
program Resettlement Action Plan.
"Dari 627 (KK), kalau ngomongin
yang 50, mereka sudah terima. Kan
penerimaan itu dapat biaya sewa rumah 12 bulan, dapat biaya bongkar, angkut
material, terus dapat kalau misal punya usaha diganti, jauh sebelum hari ini,
itu sudah berjalan," kata dia.
Sementara terkait dengan adanya backhoe ke Kampung Bayam pada Kamis
(11/2/2021) itu, ia menyebut bahwa itu untuk melakukan pembersihan terhadap
puing-puing bekas rumah warga yang sebelumnya telah pergi.
"Terus kalau mereka tadi menolak,
emang kita paksa? Kan enggak,"
ucap dia. [qnt]