“Kekerasan yang dilakukan oleh pria dalam hubungan pacaran sering kali berakar dari ketidakstabilan emosional. Banyak pelaku memiliki kesulitan mengelola emosi seperti kemarahan atau frustrasi, sehingga mereka cenderung melampiaskannya pada pasangan,” ujar Prasanti saat diwawancarai pada Jumat (13/12/2024).
Ia menambahkan, pola asuh di masa kecil juga menjadi faktor signifikan.
Baca Juga:
Polisi Kejar Pelaku Penyiram Air Keras ke Tubuh Wanita di Bekasi
“Jika seseorang tumbuh di lingkungan penuh kekerasan atau menjadi korban kekerasan, mereka cenderung meniru pola perilaku yang pernah mereka alami. Ini membentuk pola pikir bahwa kekerasan adalah cara yang sah untuk menyelesaikan konflik,” jelasnya.
Tidak hanya itu, rasa insecure dan dorongan untuk mendominasi pasangan juga menjadi pemicu utama.
“Beberapa pria merasa tidak aman dalam hubungan dan mencoba mengontrol pasangan mereka dengan kekerasan. Ini adalah bentuk upaya mempertahankan kendali karena mereka merasa superioritasnya terancam,” tutur Prasanti.
Baca Juga:
Bravo Polres Simalungun Ungkap Jaringan Narkoba, Sita 12,36 Gram Sabu-sabu dari Dua Tersangka
Dari sisi sosial, norma gender dan maskulinitas toksik turut memperburuk keadaan. “Budaya patriarki sering kali menekan pria untuk menunjukkan kekuatan fisik sebagai bagian dari identitas mereka. Kekerasan digunakan sebagai cara menegaskan kekuasaan, terutama ketika mereka merasa kehilangan kendali atas pasangan,” ungkapnya.
Prasanti juga mencatat bahwa gangguan mental atau penyalahgunaan zat sering kali memicu kekerasan. “Kondisi seperti gangguan kepribadian, depresi, atau penyalahgunaan alkohol membuat seseorang kehilangan kemampuan berpikir rasional dan bertindak impulsif. Ini juga menjadi alasan mengapa beberapa pria melakukan kekerasan,” katanya.
Ia mengakhiri penjelasannya dengan menyoroti pentingnya keterampilan komunikasi dalam hubungan.