DUA peristiwa pengusiran lansia di Tegal dan Surabaya adalah manifestasi dari disfungsi tata kelola agraria kita: sebuah realitas pahit di mana rigiditas administrasi telah meminggirkan nilai kemanusiaan, dan keadilan sosial tenggelam di balik tumpukan dokumen formal.
Rumah yang telah dihuni turun-temurun sejak akhir abad ke-19, atau ditempati secara damai selama bertahun-tahun, mendadak kehilangan legitimasi hanya karena muncul sertifikat atas nama pihak lain.
Baca Juga:
Ucok Ibon Ditangkap Dini Hari dan Dijebloskan ke Penjara, Darmawan Yusuf: Mafia Tanah Tak Ada Tempat
Tanpa putusan pengadilan, tanpa mekanisme eksekusi yang sah, warga lanjut usia dipaksa keluar dari ruang hidupnya sendiri. Pada titik ini, sengketa tanah berubah menjadi soal keberpihakan negara.
Kehilangan Konteks
Sertifikat tanah memang menjadi pilar kepastian hukum. Namun kepastian hukum tidak pernah dimaksudkan untuk berdiri sendiri, apalagi berdiri di atas pengabaian fakta sosial.
Baca Juga:
Ngaku Anggota BNN, Pria Berpistol Peras Warga Rp 200 Juta di Riau
Peraturan perundang-undangan secara jelas menempatkan sertifikat sebagai alat bukti yang kuat, bukan mutlak.
Artinya, ia harus dibaca dalam konteks proses penerbitannya, kondisi lapangan, dan keberadaan pihak lain yang telah lebih dulu menguasai dan memanfaatkan tanah tersebut.
Undang-Undang Pokok Agraria menempatkan tanah dalam kerangka yang lebih luas: tanah bukan objek ekonomi semata, melainkan bagian dari kehidupan sosial.
Prinsip fungsi sosial tanah seharusnya mencegah praktik kepemilikan yang kaku, apalagi ketika berujung pada penggusuran kelompok rentan tanpa perlindungan memadai.
Ketika sertifikat diperlakukan seolah kebenaran tunggal, hukum kehilangan kepekaannya terhadap realitas. Ia berubah dari instrumen keadilan menjadi sekadar alat administrasi.
Penguasaan Lama sebagai Fakta Hukum
Hukum tidak bekerja dalam ruang hampa. Penguasaan tanah yang berlangsung lama, terbuka, dan tanpa sengketa bukan hanya cerita turun-temurun, melainkan fakta hukum yang semestinya dipertimbangkan secara serius. Prinsip-prinsip dalam hukum perdata mengakui bahwa durasi penguasaan dan itikad baik memiliki nilai hukum.
Mengabaikan fakta penguasaan lama berarti mengabaikan salah satu fungsi utama hukum: menjaga stabilitas sosial.
Negara yang membiarkan warga yang telah lama menetap kehilangan rumahnya tanpa proses peradilan yang adil, sesungguhnya sedang menciptakan preseden berbahaya, bahwa siapa pun bisa kehilangan ruang hidupnya sewaktu-waktu.
Lansia dan Wajah Negara Hukum
Fakta bahwa para korban dalam dua peristiwa ini adalah warga lanjut usia semestinya menggugah kesadaran kolektif.
Ukuran negara hukum tidak berhenti pada kelengkapan administrasi atau sahnya selembar dokumen, melainkan tercermin dari kemampuannya melindungi mereka yang paling rentan.
Bagi lansia, rumah adalah sandaran terakhir rasa aman, yakni ruang hidup yang semestinya tidak direnggut justru pada tahap kehidupan yang menuntut ketenangan dan perlindungan.
Undang-undang telah menegaskan kewajiban negara untuk memberikan perlindungan dan rasa aman bagi warga lanjut usia.
Karena itu, setiap tindakan pengosongan paksa tanpa putusan pengadilan merupakan pengingkaran terhadap tanggung jawab konstitusional negara.
Agenda Pembenahan
Kasus Tegal dan Surabaya seharusnya menjadi momentum evaluasi nasional. Pembenahan tata kelola pertanahan tidak cukup dengan percepatan sertifikasi.
Ia harus disertai penguatan verifikasi lapangan, perlindungan penghuni lama, serta mekanisme penyelesaian sengketa yang adil sebelum konflik meledak di lapangan.
Negara perlu menegaskan satu prinsip penting: tidak boleh ada pengosongan rumah tanpa putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, terlebih jika menyangkut warga lanjut usia. Tanpa prinsip ini, hukum akan terus tampak tegas di atas kertas, tetapi rapuh dalam keadilan.
Orientasi Hukum Tanah
hukum pertanahan idealnya tidak terjebak pada kemenangan dokumen atas kemanusiaan. Kepastian hukum dan keadilan sosial bukanlah dua hal yang saling meniadakan. Justru keduanya harus berjalan beriringan.
Jika tidak, sengketa tanah akan terus berulang, dan kepercayaan publik terhadap negara hukum akan semakin terkikis.
Sebagaimana adagium hukum klasik mengingatkan, summum ius, summa iniuria. Hukum yang diterapkan secara paling ketat dapat melahirkan ketidakadilan yang paling besar.
Di situlah tantangan negara ke depan: menjadikan hukum bukan sekadar tertib secara administratif, tetapi adil secara substantif bagi seluruh warganya, lintas generasi. [*]
Penulis adalah Wakil Pemimpin Redaksi