WahanaNews.co | Chatbot berbasis kecerdasan buatan yang dikenal dengan Chat Generative Pre-Trained Transformer atau ChatGPT terus direspon kalangan akademisi.
Selain semakin memudahkan, Chatbot ternyata juga memberikan dampak negatif, khususnya dalam dunia pendidikan.
Baca Juga:
OpenAI Rilis GPT-4o Gratis: AI Terbaru dengan Performa Cepat dan Humanis
Seperti yang terjadi di China. Para pelajar dengan jaringan pribadi virtual (VPN) sudah mulai mengandalkan ChatGPT untuk mengerjakan hampir seluruh tugas sekolah.
Agence France-Presse (AFP) menyebut lebih dari selusin siswa menggunakannya untuk menulis esai, memecahkan masalah sains dan matematika, dan menghasilkan kode komputer.
“ChatGPT telah membantu saya lebih cepat mengerjakan PR. Tanpa ChatGPT, bisa 4-5 jam setiap hari. Ibu sampai begadang hingga aku selesai, dan kami terus bertengkar gara-gara itu. Sekarang, dengan ChatGPT jadi lebih cepat,” kata Esther (11), saat menghadiri sekolah kompetitif di kota besar selatan Shenzhen.
Baca Juga:
3 Pekerjaan Paling Kebal AI, Diungkap Pendiri Microsoft
Meski lebih praktis, pola itu justru membuat pelajar cenderung malas, tidak memiliki daya juang, dan tidak memiliki pemikiran kritis.
Padahal, kata guru besar teknologi informasi di Universitas Indonesia (UI), Riri Fitria Sari, satu hal paling berharga yang dapat dikembangkan oleh siswa adalah pemikiran kritis.
“Jika jawabannya selalu tersedia di ujung jari, mereka merasa tidak perlu berpikir sendiri,” kata Riri dalam webinar dengan para guru besar UI lainnya bertajuk ‘Etika Artificial Intelligence Penggunaan ChatGPT di Lingkungan Akademik’ pada beberapa waktu lalu.