“Di banyak perguruan tinggi, para dosen telah mencari cara untuk meyakinkan mahasiswa bahwa menyalin hanya dari ChatGPT bisa berimplikasi buruk. ChatGPT menilai sesuatu yang benar berdasarkan apa yang paling populer. Cenderung misinformation, disinformation, dan malinformation,” tutur Fuad.
Kendati begitu, bukan berarti menolak. Hanya saja butuh perubahan atau penyesuaian paradigma pendidikan dan pembelajaran.
Baca Juga:
OpenAI Rilis GPT-4o Gratis: AI Terbaru dengan Performa Cepat dan Humanis
Perguruan Tinggi, terutama UI perlu memanfaatkan secara maksimal sisi positif teknologi ChatGPT, sekaligus meminimalisasi sisi gelapnya dalam dunia pendidikan.
“Di level kebijakan tingkat universitas dan fakultas antara lain perlu peningkatan peran komisi etika penelitian pada tiap fakultas. Di level operasional, dosen perlu menetapkan pedoman yang jelas untuk penggunaan kecerdasan buatan yang benar,” kata Fuad.
Singapura sudah memutuskan mendukung penggunaan alat kecerdasan buatan seperti ChatGPT di sekolah.
Baca Juga:
3 Pekerjaan Paling Kebal AI, Diungkap Pendiri Microsoft
Namun, tetap ada batasan. Tujuannya sekadar meningkatkan efektivitas pembelajaran.
“Ada kelompok diskusi profesional di antara para pendidik kami untuk mengeksplorasi penggunaannya dalam lingkungan pendidikan. Pada saat yang sama, para pendidik kami akan tetap mengajarkan siswa untuk memahami konsep-konsep dasar dan membimbing siswa agar tidak terlalu bergantung pada perangkat teknologi,” ucap Menteri Pendidikan Singapura, Chan Chun Sing.
Chun Sing menyamakan alat AI generatif dengan penggunaan kalkulator yang mendukung siswa dalam belajar matematika, tetapi tidak menggantikan kebutuhan mereka yang harus menguasai matematika dasar terlebih dahulu.