"Kita tahu kehidupan dalam gelembung ekstremisme seperti terjebak dalam labirin kegelapan, di situ kita merasa sudah menyebar pelita, cahaya kecil untuk menerangi masyarakat dengan slogan 'dari kegelapan menuju cahaya'. Nah, keyakinan ideologis yang dipegang teguh menjadi tembok tebal yang membatasi ruang pandang dan membungkam suara hati." Ungkapnya.
Bagi mantan anggota gerakan bawah tanah yang melepaskan diri dari cengkeraman ekstremisme, kembali ke kehidupan normal adalah sebuah perjalanan spiritual yang penuh rintangan dan pergolakan batin.
Baca Juga:
The Lead Institute Universitas Paramadina Gelar Diskusi Kepemimpinan Profetik dan Pilkada 2024
Kang MT mengungkap adanya keraguan dan kebingungan.
"Awal mulanya saya bingung melihat kontradiksi ideologi dengan kenyataan di lapangan. Ketika saya melihat ada kekerasan dan kekejaman yang dilakukan atas nama Allah, itu kok begini sih, mulai tergerus keyakinan saya."
"Tembok kedua, pencarian kebenaran. Rasa haus akan kebenaran mendorong untuk mencari informasi di luar cakupannya, membaca buku, artikel, dan berbicara dengan tokoh. Saya ingin membuka mata terhadap realitas yang sebenarnya di masyarakat, dibandingkan dengan realitas yang saya alami." Imbuhnya.
Baca Juga:
Universitas Paramadina Dorong Literasi Investasi Reksa Dana di Kalangan Mahasiswa
Keputusan untuk meninggalkan gerakan bawah tanah menurutnya bukan perkara mudah, ancaman bahaya dan pembunuhan mengintai.
"Saya sendiri ketika mau keluar dan perlawanan sudah makin terang-terangan, akhirnya kena hukuman dan darah kami dihalalkan."
Kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi juga bukan hal yang mudah.