WAHANANEWS.CO, Jakarta - Polemik seputar pemisahan pemilu nasional dan lokal mulai menuai kegelisahan di tubuh legislatif.
Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI, Taufik Basari, menyebut bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu nasional dan daerah justru menciptakan kebuntuan konstitusional atau constitutional deadlock.
Baca Juga:
Putusan MK Soal Pendidikan Dasar Disambut Mendikdasmen dengan Catatan
Menurut Taufik, memperpanjang masa jabatan DPRD selama dua tahun demi menyesuaikan jadwal baru pemilu lokal adalah tindakan yang justru melanggar UUD 1945, khususnya Pasal 22E Ayat (2) yang menegaskan bahwa pemilu harus digelar setiap lima tahun sekali.
“Kalau kita tidak laksanakan pemilu, maka kita melanggar Pasal 18 Ayat 2 dan 3 UUD 1945, karena anggota DPRD harus dipilih lewat pemilu. Tapi kalau tetap dilaksanakan seperti sekarang, kita langgar Pasal 22E,” ujarnya di Kompleks DPR/MPR RI, Jumat (4/7/2025).
Dilema inilah yang ia sebut sebagai kebuntuan konstitusional. “Dimakan masuk mulut buaya, tidak dimakan masuk mulut harimau. Kan begitu,” ungkap Taufik.
Baca Juga:
Soal UU Sisdiknas, Putusan MK Tak Larang Sekolah Swasta Pungut Biaya
Ia menegaskan, putusan MK memang final dan mengikat berdasarkan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, namun secara praktik, telah menimbulkan pertentangan antara dua pasal konstitusi sekaligus.
Menurutnya, ini menjadi persoalan serius khususnya bagi masa jabatan anggota DPRD, bukan bagi DPR, DPD, maupun Presiden/Wakil Presiden.
“Kalau DPR, DPD, presiden dan wapres tidak ada masalah karena akan dilakukan 5 tahun sekali,” katanya.