Pekerjaan rumah yang harus dilakukan saat ini, kata dia, pemerintah bersama penyelenggara pendidikan tinggi agar segera merumuskan standar pendidikan di level perguruan tinggi masing-masing serta pedoman teknis lainnya sebagai tindaklanjut atau penjabaran dari Permendibudristek No. 53 Tahun 2023 tersebut.
Dia berharap kebijakan ini harus dirumuskan detail tanpa mengurangi mutu.
Baca Juga:
Kasus Magang Palsu Jerman, Guru Besar di Jambi Dapat Cuan Rp48 Juta
“Seperti soal lulus sarjana tidak harus menulis skripsi, kemudian tidak ada kewajiban publikasi tugas akhir bagi program doktor dan magister, hal itu harus dirumuskan lebih detail dan implementatif di lapangan dengan tanpa mengurangi mutu yang dihasilkan,” ungkap Tholabi.
Menurut Tholabi, sejumlah kebijakan baru ini harus dimaknai sebagai ikhtiar nyata dari pemerintah untuk memberikan kemudahan melalui penyederhanaan lingkup standar, standar kompetensi lulusan, dan standar proses pembelajaran dan penilaian.
“Regulasi ini dimaksudkan dalam rangka memperluas ruang gerak perguruan tinggi untuk melahirkan inovasi. Karena inovasi hanya bisa dilakukan dengan ruang gerak yang luas,” kata Tholabi.
Baca Juga:
Prof. Erlina Burhan: 385 Pasien TB Meninggal Setiap Hari di Indonesia
Di bagian lain, Tholabi menyinggung keberadaan kecerdasan buatan atau artificial intelegencia (AI) juga menjadi poin penting atas aturan baru ini.
Menurut dia, kecerdasan buatan telah mendisrupsi aktivitas ilmiah di lingkungan lembaga pendidikan, khususnya di pendidikan tinggi.
”Ini menjadi tantangan nyata pendidikan kita saat ini. Kecerdasan buatan semakin menguatkan tradisi “bertanya” dan langsung menemukan jawabannya, dari pada tradisi “berpikir”. Padahal, pengetahuan itu basisnya adalah “cogito ergo sum”, pikiran,” tutup Tholabi.