WAHANANEWS.CO, Jakarta - Kekhawatiran mulai muncul dari kalangan perlindungan konsumen terkait rencana pemerintah mencampurkan etanol ke dalam bahan bakar minyak (BBM).
Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN RI), Muhammad Mufti Mubarok, dengan tegas meminta pemerintah memastikan agar kebijakan ini tidak justru menjadi jebakan bagi masyarakat yang setiap hari bergantung pada BBM untuk beraktivitas.
Baca Juga:
Demo Ricuh dan Sorotan Publik terhadap RUU Perampasan Aset
Pada Rabu (9/10/2025), Mufti menyampaikan sejumlah catatan penting agar kebijakan blending etanol ini tidak menimbulkan kerugian di pihak konsumen.
Ia mengungkapkan, transisi menuju energi hijau tidak boleh mengorbankan hak-hak dasar masyarakat sebagai pengguna akhir.
Menurut Mufti, transparansi informasi menjadi hal paling mendasar yang harus dijaga.
Baca Juga:
BPKN: LMKN Wajib Transparan Soal Royalti Lagu, Regulasi Jangan Bebani UMKM
Pemerintah bersama pelaku industri diminta terbuka terhadap data spesifikasi BBM beretanol, termasuk kadar etanol, dampak terhadap performa mesin, dan standar pengujiannya.
“Konsumen berhak tahu bahwa bahan bakar yang mereka beli sesuai dengan kualitas yang dijanjikan,” ujarnya, melalui keterangan tertulis yang diterima WAHANANEWS.CO, Kamis (9/10/2025).
Selain itu, BPKN menekankan pentingnya sistem pengujian dan pengawasan yang benar-benar independen.
Mufti menyebut, tanpa laboratorium uji yang kredibel dan sistem distribusi yang diawasi secara ketat, risiko penyimpangan atau pencampuran di luar standar akan sangat besar.
“Kalau pengawasan lemah, bisa muncul kerusakan mesin atau degradasi performa kendaraan,” tegasnya.
BPKN juga menyoroti perlunya mekanisme perlindungan bagi konsumen apabila timbul kerusakan akibat penggunaan BBM beretanol.
Mufti menegaskan, pemerintah harus menyiapkan payung hukum yang jelas, termasuk mekanisme klaim ganti rugi yang mudah dan efektif.
“Konsumen tidak boleh dibiarkan terlantar saat terjadi masalah,” kata dia.
Mufti juga menyarankan agar penerapan etanol dilakukan secara bertahap dan disertai sosialisasi yang masif.
Menurutnya, kebijakan semacam ini tidak boleh langsung diberlakukan secara mandatori tanpa melihat kesiapan masyarakat dan pelaku usaha.
“Lakukan bertahap sambil mengedukasi publik agar transisi berjalan mulus,” imbuhnya.
Langkah uji coba dan pilot project juga menjadi rekomendasi penting dari BPKN sebelum kebijakan diterapkan secara nasional. Ia menilai, tahap percobaan akan memberi gambaran nyata terkait dampak teknis, ekonomi, maupun aspek perlindungan konsumen.
Menurut Mufti, kebijakan energi tidak semata dilihat dari sisi efisiensi dan lingkungan, melainkan juga dari sisi keadilan bagi pengguna akhir.
“Jangan sampai masyarakat justru menjadi pihak yang dirugikan di tengah upaya pemerintah menuju energi hijau,” ujarnya menambahkan.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia telah menyatakan rencana pemerintah untuk memperluas penggunaan bioetanol dalam bahan bakar bensin. Rencana awal mencakup pencampuran 10 persen etanol atau E10 ke dalam BBM jenis bensin.
Langkah tersebut disambut beragam. Sebagian pihak menilai kebijakan ini selaras dengan target net zero emission dan strategi diversifikasi energi nasional, sementara sejumlah produsen SPBU swasta justru menolak membeli base fuel dari Pertamina karena adanya kandungan etanol di dalamnya.
Pihak Kementerian ESDM menegaskan bahwa penggunaan etanol bukan hal baru dan telah diterapkan di banyak negara maju. Dirjen Migas Laode Sulaeman menjelaskan bahwa spesifikasi utama BBM di Indonesia tetap ditentukan oleh angka Research Octane Number (RON), bukan semata kandungan etanol.
Di sisi lain, beberapa produsen otomotif menilai kebijakan ini berpotensi meningkatkan angka oktan sekaligus mengurangi emisi karbon kendaraan. Namun, BPKN tetap mengingatkan akan adanya tantangan teknis dan risiko yang perlu dikendalikan sejak awal.
Menurut catatan BPKN, risiko yang mungkin timbul mencakup penurunan performa dan umur mesin jika kadar etanol atau bahan aditif tidak tepat, hingga korosi atau kerusakan pada sistem bahan bakar.
Selain itu, infrastruktur distribusi, seperti tangki dan pipa di SPBU, juga harus dipastikan tahan terhadap sifat kimia etanol.
BPKN menilai harga dan biaya produksi juga menjadi isu penting, sebab penambahan etanol dapat memengaruhi harga pokok produksi BBM. Pemerintah perlu memastikan agar potensi kenaikan harga tidak sepenuhnya dibebankan kepada konsumen tanpa kompensasi yang adil.
Aspek terakhir yang disorot Mufti adalah kepastian hukum bagi konsumen jika mengalami kerugian. Ia menegaskan perlunya saluran yang jelas bagi masyarakat untuk mengajukan klaim atau perbaikan, baik melalui produsen, distributor, maupun pemerintah.
“Transisi ke bahan bakar yang lebih hijau harus tetap adil dan aman bagi konsumen,” tutup Mufti dengan nada tegas. “Pemerintah tetap dituntut menjaga keseimbangan antara kepentingan lingkungan, industri, dan hak rakyat sebagai konsumen.”
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]