WAHANANEWS.CO, Jakarta - Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional Republik Indonesia (BPKN RI), M. Mufti Mubarok, menyoroti lonjakan waktu tunggu keberangkatan haji yang kini mencapai 30 hingga 40 tahun di beberapa daerah dan mendesak pemerintah, khususnya Kementerian Agama dan Badan Penyelenggara Haji (BPH), untuk segera melakukan evaluasi total sistem antrean haji nasional.
“Hak konsumen untuk memperoleh layanan ibadah yang adil, transparan, dan terencana harus tetap terjamin,” kata Mufti, melalui keterangan tertulisnya yang diterima WahanaNews.co, Sabtu (15/8/2025).
Baca Juga:
BPKN RI: Warga Indonesia Harus Waspada, Data Pribadi Jangan Dikuasai Asing
Menurut Mufti, sebagai konsumen dari layanan penyelenggaraan ibadah haji, para calon jamaah berhak atas kepastian layanan, informasi yang memadai, dan perlakuan adil.
“Sistem antrean yang tidak efisien dan kurang adaptif terhadap dinamika kuota dan demografi jelas merugikan konsumen secara struktural,” tegasnya.
Mufti menyebutkan lima langkah strategis yang harus segera dilaksanakan. Pertama, evaluasi menyeluruh sistem antrean nasional termasuk audit mekanisme pendaftaran, transparansi distribusi kuota per daerah, serta prioritas berdasarkan usia dan kondisi fisik calon jamaah.
Baca Juga:
Ketua BPKN Sebut PPATK Langgar 5 UU soal Pemblokiran Rekening Dormant
Kedua, dorongan inovasi dalam pengelolaan antrean melalui perluasan dan percepatan penerapan sistem digital berbasis data real-time yang transparan, dapat diakses publik, menampilkan daftar antrean, dan meminimalkan risiko manipulasi atau informasi tidak akurat.
“Masyarakat harus bisa melihat siapa saja yang terdaftar dalam list antrian,” ujar Mufti.
Ketiga, upaya penambahan kuota melalui jalur diplomatik dengan Kementerian Agama dan Kementerian Luar Negeri bekerja sama secara legal dengan Kerajaan Arab Saudi.
“Progresnya harus disampaikan secara terbuka kepada publik agar masyarakat memahami proses yang sedang berlangsung,” jelasnya.
Keempat, pemetaan kebutuhan jamaah berdasarkan wilayah dan kategori usia dengan menganalisis data antrean untuk merumuskan kebijakan berbasis kebutuhan nyata, misalnya kuota khusus lansia, prioritas daerah tertinggal, serta insentif bagi jamaah yang memilih skema keberangkatan non-reguler, dengan tetap menjaga prinsip keadilan.
Kelima, keterlibatan konsumen dalam proses pengambilan kebijakan dengan membuka ruang partisipatif bagi publik dan calon jamaah.
“Suara konsumen harus terdengar dan menjadi bagian dari solusi,” tambah Mufti.
Mufti menegaskan, perlindungan konsumen adalah mandat konstitusional sehingga dalam konteks ibadah haji, hak beragama warga negara harus dijamin melalui layanan yang tidak hanya administratif tetapi juga menjunjung prinsip hak atas informasi, hak memilih, hak untuk didengar, dan hak atas pelayanan yang layak dan adil.
BPKN RI siap bersinergi dengan semua pemangku kepentingan untuk memastikan sistem antrean haji di masa depan lebih adaptif, adil, dan berorientasi pada kepentingan konsumen, pungkas Mufti.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]