Ternyata lumayan oke. Di level ASEAN, cadangan devisa Indonesia adalah yang tertinggi nomor tiga. Indonesia cuma kalah dari Singapura dan Thailand.
Bagi BI, cadangan devisa adalah pertahanan lapis pertama untuk menjaga nilai tukar rupiah. Ketika rupiah mengalami tekanan, BI bisa menggelontorkan likuiditas dari cadangan devisa untuk melakukan intervensi di pasar.
Baca Juga:
PLN Katakan Produksi Hidrogen Hijau Jadi Bahan Bakar Alternatif di Masa Depan
Sepanjang bulan lalu, kepemilikan Surat Berharga Negara (SBN) oleh BI bertambah Rp 9,39 triliun. Lebih tinggi dibandingkan penambahan sepanjang Juli 2021 yaitu Rp 2,45 triliun. Pembelian SBN merupakan salah satu langkah stabilisasi nilai tukar, selain intervensi di pasar spot dan Domestic Non-Deliverable Forwards (DNDF).
Setelah cadangan devisa, pertahanan lapis kedua adalah kerja sama bilateral dengan negara-negara lain. Misalnya adalah Local Bilateral Currency Swap Arrangement (LBCSA) antara Indonesia dengan Jepang, Malaysia, China, dan sebagainya.
Dengan LBCSA, perdagangan antara Indonesia dengan negara-negara mitra dagang utama bisa dilakukan dengan mata uang masing-masing. Ini akan mengurangi kebutuhan valas, terutama dolar AS, sehingga mengurangi tekanan terhadap nilai tukar rupiah.
Baca Juga:
PLN ULP Seberang Kota Bersiap Sambut Natal dan Tahun Baru dengan Posko Mudik Nataru
Kemudian pertahanan lapis ketiga adalah semacam cadangan devisa bersama negara-negara ASEAN Plus 3 yang diberi nama Chiang Mai Initiative Multiralization (CMIM). Saat ini, CMIM bernilai US$ 240 miliar.
Kontribusi Indonesia di CMIM adalah US$ 9,1 miliar. Dari kontribusi tersebut, Indonesia berhak mengambil 2,5 kali lipatnya yaitu US$ 22,76 miliar. CMIM bisa diakses ketika terjadi tekanan di neraca pembayaran yang kemudian berdampak terhadap stabilitas nilai tukar. [dhn]
Ikuti update
berita pilihan dan
breaking news WahanaNews.co lewat Grup Telegram "WahanaNews.co News Update" dengan install aplikasi Telegram di ponsel, klik
https://t.me/WahanaNews, lalu join.