Ketika jumlah uang beredar tumbuh melampaui pertumbuhan PDB, hal ini akan menyebabkan inflasi yang mengakibatkan masyarakat secara efektif menjadi lebih miskin.
Alasan kedua terkait dengan reaksi pasar modal. Ketika pemerintah mengeluarkan lebih banyak utang, hal ini meningkatkan permintaan akan dana pinjaman, dan dengan demikian menaikkan suku bunga.
Baca Juga:
Kadin: Pemimpin Solo Masa Depan Harus Pahami Masalah untuk Kesejahteraan Masyarakat
Suku bunga yang lebih tinggi menyebabkan lebih banyak dana yang disediakan tetapi mengurangi jumlah yang terserap oleh sektor swasta. Akibatnya, investasi yang terjadi di sektor swasta berkurang.
Hal ini mengarah pada berkurangnya investasi dan peningkatan konsumsi. Suku bunga yang tinggi mengurangi profitabilitas investasi jangka panjang. Ketika lebih banyak output ekonomi dikonsumsi sekarang dan lebih sedikit yang diinvestasikan, ekonomi akan tumbuh lebih lambat, mengurangi output masa depan. Hal ini sejatinya menggeser beban utang ke generasi mendatang.
Ketika pemerintah meminjam lebih banyak dan suku bunga naik, generasi saat ini mengkonsumsi lebih banyak output ekonomi, meninggalkan lebih sedikit untuk investasi masa depan.
Baca Juga:
Pramuka Sergai Siap Hadapi Tantangan Zaman, Bupati Tekankan Pentingnya Pendidikan Karakter
Tingkat pertumbuhan yang lebih lambat ini berarti generasi mendatang akan mewarisi tidak hanya utang tetapi juga ekonomi yang melemah.
Mereka akan dihadapkan dengan pajak yang lebih tinggi atau layanan publik yang berkurang untuk mengelola utang, membuat situasi ekonomi mereka lebih sulit. Skenario ini mengancam aspirasi "Indonesia Emas 2045", karena ekonomi yang lemah akan menggerogoti ekonomi menuju 2045.
Lantas, langkah apa yang sebaiknya diambil? Pemerintah perlu duduk bersama dengan masyarakat, dalam hal ini parlemen, dan meninjau kembali UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara untuk mencari terobosan yang lebih cermat dalam mengelola utang publik.