WAHANANEWS.CO, Jakarta - Lima negara anggota Uni Ekonomi Eurasia (EAEU) mencatat lonjakan tajam dalam penggunaan mata uang lokal untuk transaksi lintas negara.
Hingga akhir 2024, sekitar 93 persen pembayaran antarnegara di kawasan tersebut dilakukan tanpa melibatkan dolar Amerika Serikat (AS).
Baca Juga:
Bamsoet Ajak Sejawat Alumni Lemhannas Perkuat Ketahanan Nasional Hadapi Dinamika Geopolitik Global
Blok ekonomi yang terdiri dari Rusia, Armenia, Belarus, Kazakhstan, dan Kirgistan ini telah mempercepat upaya dedolarisasi dalam satu dekade terakhir.
Jika pada 2015 transaksi dengan mata uang nasional baru mencapai 70 persen, kini angkanya melonjak menjadi 93 persen, mencerminkan pergeseran besar dalam sistem keuangan regional dan implikasi terhadap tatanan ekonomi global.
Wakil Menteri Pembangunan Ekonomi Rusia, Dmitry Volvach, menjelaskan bahwa peningkatan ini sejalan dengan strategi pengurangan ketergantungan terhadap dolar yang juga diadopsi oleh kelompok BRICS.
Baca Juga:
Rupiah Anjlok ke Rp17.059 per Dolar AS, Cetak Rekor Terendah Sepanjang Sejarah
“Jika pada 2015 mata uang nasional seperti rubel hanya mencakup sekitar 70 persen transaksi kami dengan mitra EAEU, maka akhir tahun lalu angkanya sudah menembus 93 persen,” ujar Volvach dalam pernyataan resmi yang dikutip dari Watcher Guru, Senin (19/5/2025).
Dedolarisasi kini menjadi tren global, terutama di kalangan negara berkembang yang ingin mengurangi dominasi dolar dalam sistem keuangan internasional.
Selain EAEU dan BRICS, sejumlah kelompok ekonomi lain seperti CIS, SCO, GCC, dan ASEAN juga mendorong penggunaan mata uang nasional dalam perdagangan luar negeri mereka.
Volvach menekankan bahwa peralihan ini terjadi secara alami dan bukan karena tekanan eksternal.
“Tidak mungkin memaksa pelaku ekonomi internasional untuk berpindah ke satu mata uang tertentu. Ini murni karena kepentingan ekonomi masing-masing negara. Dan ini menjadi fondasi yang sehat untuk pertumbuhan jangka panjang,” tegasnya.
Fenomena dedolarisasi dinilai akan mengikis dominasi dolar AS sebagai mata uang cadangan utama dunia dan alat pembayaran internasional.
Para analis memperkirakan langkah ini akan berdampak besar pada stabilitas keuangan global dan memperkuat kemandirian ekonomi negara-negara berkembang.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]