WahanaNews.co, Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan bahwa proporsi Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia saat ini hanya mencapai 12,2%.
Angka ini ternyata masih di bawah target bauran EBT sebesar 23% yang ditetapkan untuk tahun 2025, serta target 34% yang diharapkan pada tahun 2030.
Baca Juga:
ALPERKLINAS Dukung Rencana PLN Ubah Tiang Listrik Jadi SPKLU, Utamakan Keselamatan Masyarakat
Menurut Staf Khusus Menteri ESDM bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara, Irwandy Arif, Indonesia sebenarnya memiliki potensi EBT yang sangat besar, mencapai 3.600 Giga Watt (GW).
Potensi tersebut bisa dimanfaatkan untuk mencapai target bauran EBT dan membantu mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) di dalam negeri.
"Dengan sumber daya EBT lebih dari 3.600 GW, kita dapat menjaga pasokan energi, mendorong peralihan modal energi, dan mengurangi emisi GRK. Namun, saat ini, penggunaannya baru mencapai 17,3 GW atau 12,2% dari total bauran EBT yang direalisasikan," paparnya pada pembukaan acara Indonesia Mineral and Energy Conference 2023 di Jakarta, seperti dikutip pada Rabu (20/12/2023), mengutip CNBC Indonesia.
Baca Juga:
ALPERKLINAS Dukung Rencana PLN Ubah Tiang Listrik Jadi SPKLU, Utamakan Keselamatan Masyarakat
Irwandy juga menambahkan bahwa pada tahun 2024, Indonesia diharapkan membutuhkan pembangkit EBT sebesar 13,6 GW guna meningkatkan proporsi energi baru terbarukan di dalam negeri.
"Seperti PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) atap, mandatori B35, implementasi co-firing PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap)," tambahnya.
Di sisi lain, Irwandy mengakui memang saat ini masih terdapat banyak kontrak pembangkit listrik berbasis batu bara sedang berjalan, sehingga pemanfaatan listrik dari batu bara masih akan meningkat dan mencapai kondisi puncaknya pada 2030.
Sementara rencana penggunaan batu bara direncanakan akan berkurang secara bertahap hingga 2060.
"Pada tahun 2060, Indonesia tidak lagi menggunakan pembangkit listrik tenaga batu bara dan untuk mendukung rencana ini beberapa program pendanaan dicanangkan untuk mendukung rencana ini" beber Irwandy.
Hal itu dilakukan dengan merealisasikan kebijakan pajak karbon (carbon tax), perdagangan karbon (carbon trading), program Just Energy Transition Partnership (JETP), serta Energy Transition Mechanism (ETM).
Irwandy mengatakan, secara keseluruhan rencana ini membutuhkan investasi sebesar US$ 1,1 triliun atau sekitar US$ 28,5 miliar per tahun hingga 2060.
Selain upaya-upaya percepatan di atas, peningkatan nilai tambah mineral juga merupakan salah satu langkah penting dalam mendukung transisi energi di Indonesia, antara lain digunakan sebagai bahan baku pembangkit solar, angin dan nuklir, kabel distribusi, serta baterai kendaraan listrik dan pembangkit EBT.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]