"Ini bisa tecermin dari perubahan pola transaksi, misal penurunan pada transaksi di kategori seperti hiburan atau restoran, sementara ada peningkatan dalam kategori seperti bahan makanan atau kebutuhan rumah tangga," katanya saat dihubungi CNBC Indonesia.
Sementara BJB (BJBR), mengatakan dampak dari tren penurunan konsumsi kelas menengah membuat nilai transaksi nasabah menurun. Direktur Utama BJB Yuddy Renaldi mengatakan frekuensi transaksi di BPD pentolan itu masih bertumbuh, tetapi nilainya telah menurun.
Baca Juga:
Bank Kalsel dan Pemko Banjarmasin Modernisasi Transaksi Pasar Terapung dengan QRIS
"Mengenai tren konsumsi pada kelas menengah ini melalui transaksi channel elektronik khususnya secara tren kami melihat dari sisi frekuensi masih bertumbuh, namun yang menjadi perhatian adalah value yang diperoleh atas nilai uang yang ditransaksikan," kata Yuddy saat dihubungi CNBC Indonesia.
Misalkan, katanya, nasabah dalam kesehariannya menghabiskan Rp100 ribu rupiah untuk membeli 10 barang, kini yang dihabiskan dengan nominal yang sama, hanya untuk 8-9 barang saja.
"Artinya bukan dari jumlah nilai uang yang dihabiskan, tetapi dari daya beli uang tersebut, inflasi dan daya beli telah menekan daya beli," jelas Yuddy.
Baca Juga:
FEB UGM Lakukan Riset tentang Elektrifikasi Transaksi Pemerintah Daerah di Sulawesi Barat
Bank swasta terbesar RI, BCA (BBCA) juga tak terelakkan dari penurunan kelas menengah. Meskipun Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja mengatakan bahwa tren tersebut tidak berpengaruh pada transaksi QRIS atau debit, ia mengakui bahwa kredit retail terdampak.
"So far kredit retail yang lebih berat," katanya saat dihubungi CNBC Indonesia.
Meskipun begitu, Jahja mengatakan kredit konsumsi seperti kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit kendaraan bermotor (KKB) di BCA tetap bertumbuh karena bunga yang murah. "Naik, KPR dan KKB bagus karena bunga murah," katanya.