WAHANANEWS.CO, Jakarta - Indonesia kembali dihadapkan pada persoalan serius di sektor energi.
Di tengah upaya mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen, pasokan gas untuk kebutuhan rumah tangga dan industri justru menunjukkan tren yang mengkhawatirkan.
Baca Juga:
Tata Kelola Energi Primer Kokoh, PLN Tak Khawatir Ancaman Krisis Energi Global
DPR pun angkat bicara soal ketergantungan pada impor gas, khususnya LPG dan LNG.
Pada Sabtu (19/7/2025), Anggota Komisi XII DPR RI, Eddy Soeparno menyoroti fakta bahwa sebagian besar kebutuhan LPG nasional ternyata masih bergantung pada impor.
Hal ini bahkan mencakup LPG bersubsidi tabung 3 kilogram yang digunakan masyarakat kecil.
Baca Juga:
Tata Kelola Energi Primer Kokoh, PLN Tak Khawatir Ancaman Krisis Energi Global
"Tahun kemarin (volume subsidi LPG) 8,17 juta kiloliter bertambah. Itu pun impor, 75% LPG yang kita miliki sekarang untuk dipakai untuk masak itu impor," ujar Eddy dalam acara Coffee Morning CNBC Indonesia.
Lebih miris lagi, menurut Eddy, penyaluran subsidi LPG 3 kilogram sering kali salah sasaran. "LPG impor tersebut banyak dimanfaatkan oleh masyarakat yang tidak berhak karena penyaluran subsidi yang kurang tepat sasaran," ujarnya.
Untuk mengatasi hal tersebut, Eddy mengusulkan perlunya perluasan jaringan distribusi gas langsung ke rumah tangga.
"Tadinya kita berpikir sebaiknya kita melakukan perubahan penggunaan LPG itu dengan memperbesar jaringan distribusi gas-gas ke perumahan-perumahan. Sehingga perumahan yang tadi menggunakan LPG bisa menggunakan gas," imbuhnya.
Tak hanya LPG, Eddy juga menyinggung defisit pasokan liquefied natural gas (LNG) yang diperkirakan akan memburuk. Hal ini menjadi tantangan berat bagi Indonesia yang sedang mengejar ambisi pertumbuhan ekonomi tinggi.
"Nah ini yang menjadi problem kita. Industri manufaktur hari ini, terutama yang ada di Cilegon, itu sekarang sudah teriak. Ya, kita mau gak mau impor LNG hari ini. Itu yang menjadi permasalahan," kata Eddy.
Ia menambahkan, banyak industri memerlukan gas bukan hanya sebagai bahan bakar, melainkan sebagai bahan baku utama. "Padahal mereka membutuhkan gas itu bukan sebagai bahan bakar, tapi sebagai bahan baku. Jadi kebutuhan gasnya kan sangat besar. Nah ini yang menjadi problem kita hari ini," ungkapnya.
Lebih lanjut, Eddy menjelaskan bahwa defisit gas juga dipicu oleh meningkatnya kebutuhan transisi energi. Banyak pelaku usaha mulai meninggalkan sumber energi fosil dan beralih ke gas sebagai jembatan menuju energi terbarukan.
"Karena banyak di antara para pelaku usaha yang saat ini sudah harus bertransformasi dari pemanfaatan sumber-sumber energi fosil yang mau bertransisi ke sumber energi terbarukan menggunakan gas sebagai sarana untuk transisi tersebut. Nah, gasnya itu sekarang habis," jelasnya.
Namun sayangnya, sumber gas nasional berada di daerah-daerah sulit, seperti wilayah laut dalam yang memerlukan teknologi dan biaya besar. Sementara itu, infrastruktur distribusi gas nasional masih belum optimal.
"Sementara kita lihat sumber-sumber gas kita yang ada, itu adanya di daerah-daerah yang pendalaman laut, yang membutuhkan waktu, biaya, dan teknologi yang besar untuk mengeluarkan gas tersebut. Ditambah lagi, infrastruktur gas kita ini masih belum sempurna," pungkas Eddy.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]