Salah satu upaya tersebut juga melalui pembentukan Badan Layanan Umum (BLU) Batubara yang hingga kini masih berproses. Kehadiran BLU batuabra diharapkan memberikan keadilan untuk semua pihak. Sementara itu, upaya pengawasan untuk keamanan pasokan batubara juga terus dilakukan oleh manajemen PLN.
"Sejak awal tahun 2022, PLN telah melakukan perubahan paradigma dalam monitoring dan pengendalian pasokan batu bara, yang semula berfokus pada pengawasan di titik bongkar (estimated time of arrival/ETA) menjadi berfokus di titik muat/loading," jelas Gregorius.
Baca Juga:
Soal Eks Bupati Batubara Urus SKCK Meski Sudah DPO, Polres Buka Suara
Gregorius mengungkapkan, dengan langkah ini maka jika ada potensi kegagalan pasokan yang diakibatkan oleh ketersediaan batubara maupun armada angkutan dapat dideteksi lebih dini. Dengan demikian, langkah perbaikan dan antisipasi dapat dilakukan dengan lebih cepat.
Selain itu, PLN pun juga telah mengintegrasikan sistem pengawasan digital dengan sistem di Direktorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM. Dengan demikian, potensi kebutuhan batubara untuk jangka waktu ke depan dapat diperhitungkan.
Sebelumnya, EVP Batubara PT PLN (Persero) Sapto Aji Nugroho mengungkapkan sejumlah tantangan dalam upaya pemenuhan batubara untuk pembangkit listrik perusahaan setrum pelat merah ini.
Baca Juga:
Kasus Suap Seleksi PPPK, Eks Bupati Batubara Zahir Jadi Tersangka
Menurutnya, para pemasok lebih memilih menjual batubara untuk industri semen di mana harga patokannya lebih tinggi yakni sebesar US$ 90 per ton. Bahkan, pasokan juga umumnya akan lebih diutamakan untuk sektor smelter dimana harga yang dikenakan mengikuti harga pasar.
"Nah ini yang membuat kami di PLN ini pilihan terakhir ketika pemasok yang ingin menunaikan kewajibannya DMO di dalam negeri," ungkap Sapto dalam Diskusi Publik BLU Batubara, Selasa (2/8).
Sapto melanjutkan, merujuk pada Keputusan Menteri ESDM Nomor 13/2020, perusahaan yang spesifikasi batubaranya di luar kebutuhan PLN maka akan dikenakan beban kompensasi.