WahanaNews.co | Era easy money akan segera berakhir seiring dengan keputusan bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed), untuk mengurangi stimulus ekonomi atau tappering off.
Kebijakan ini kemungkinan besar akan memberi kejutan bagi pasar keuangan global.
Baca Juga:
Saham GoTo Rontok Lagi, Ternyata Ini Biang Keroknya
Bloomberg Economics memperkirakan berakhirnya easy money ini akan membuat para pembuat kebijakan di negara-negara maju yang tergabung dalam Kelompok Tujuh (G-7) akan mengurangi neraca mereka sekitar 410 miliar dolar AS di sisa tahun 2022.
Kebijakan easy money sejauh ini membantu menopang ekonomi AS dan harga aset menghadapi kemerosotan pandemi.
Namun, The Fed menariknya kembali karena inflasi melonjak ke level tertinggi selama beberapa dekade.
Baca Juga:
Gawat! Sudah Rp 167 T Dana Asing Kabur dari Pasar SBN RI
Dampak ganda dari menyusutnya neraca dan suku bunga yang lebih tinggi menambah tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi ekonomi global.
Invasi Rusia ke Ukraina dan lockdown di China semakin memicu kenaikan inflasi.
Kebijakan baru bank sentral ini kemungkinan akan membuat biaya pinjaman menjadi lebih tinggi dan memperketat likuiditas.
Kenaikan imbal hasil obligasi, penurunan harga saham, dan dolar AS yang lebih kuat telah memperketat kondisi pasar keuangan.
The Fed diperkirakan akan menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin saat pertemuan kebijakan pada 3-4 Mei.
Diperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga hingga 250 poin sampai akhir tahun ini.
Rencana penarikan stimulus pada 2013 lalu juga sempat mengejutkan investor dan memicu gejolak di pasar keuangan.
Saat itu, The Fed mengurangi pembelian obligasi dari 85 miliar dolar AS menjadi 75 miliar dolar AS dan berlaku mulai pada 2014.
Kebijakan tersebut berimbas pada penurunan nilai mata uang serta Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). [gun]