WahanaNews.co, Jakarta - Indonesia memiliki potensi kekayaan sumber daya alam yang sangat besar sehingga perlu dikelola atau diolah untuk meningkatkan nilai tambah dan daya jualnya. Pengolahan sumber daya alam menjadi produk hilir yang berkualitas ini disebut hilirisasi.
“Selama ini, hilirisasi telah memiliki dampak ekonomi yang sangat besar karena banyak rantai pasok yang terlibat. Hal ini sesuai yang disampaikan Bapak Presiden Joko Widodo, bahwa Indonesia harus menjadi negara yang juga mampu mengolah sumber dayanya, karena dapat memberikan nilai tambah dan mensejahterakan rakyat,” kata Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah dan Aneka (IKMA) Kementerian Perindustrian, Reni Yanita di Jakarta, Sabtu (19/8).
Baca Juga:
Catat Surplus, Kinerja Ekspor Nasional Masih Ditopang Sektor Manufaktur
Salah satu komoditas unggulan dalam negeri yang sedang dipacu nilai tambahnya, yakni tanaman sagu yang berlokasi di Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau.
Dalam proses mendorong hilirisasi ini, Kemenperin bersama dengan pemerintah daerah memaksimalkan potensi asli daerah tersebut melalui pengembangan Sentra IKM Sagu dengan menggunakan Dana Alokasi Khusus (DAK).
“Sentra IKM Sagu Kepulauan Meranti telah empat kali mendapatkan alokasi DAK bagi pengembangan Sentra IKM Sagu sejak tahun 2016 hingga 2021 dengan total alokasi dana sebesar Rp41,9 miliar,” ungkapnya.
Baca Juga:
Jamin Demand Belanja Dalam Negeri, TKDN Terbukti Tingkatkan Investasi dan Produktivitas Industri
Reni mengemukakan, penggunaan anggaran DAK di Sentra IKM Sagu Kepulauan Meranti meliputi pembangunan gedung promosi sentra, gedung produksi, mesin produksi tepung sagu, hingga pembuatan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) dan instalasi pengolahan air gambut (IPAG).
“Kami melihat bahwa produksi tepung sagu kering dapat memberikan nilai tambah yang sangat besar bagi ekosistem pelaku IKM pangan seperti produsen mie sagu, kue kering, kerupuk, hingga berbagai jenis produk turunan pangan lainnya,” tuturnya.
Dirjen IKMA menyatakan bahwa sebelum berdirinya sentra tersebut, banyak petani maupun pemilik kilang sagu (pengolah batang sagu menjadi tepung sagu basah) yang menjual sagu basah ke luar negeri dikarenakan lokasi Kepulauan Meranti yang berdekatan dengan negara Malaysia. Padahal, sagu basah itu masih memiliki harga jual yang rendah.
“Oleh karena itu, diperlukan adanya upaya agar sagu basah yang belum diolah itu tidak dijual ke negara tetangga, namun dapat diolah menjadi sagu kering yang memiliki lebih banyak nilai tambah,” imbuhnya.
Provinsi Riau merupakan penghasil sagu terbesar di Indonesia dengan total luas perkebunan sagu mencapai 61.689 hektare, di mana Kabupaten Kepulauan Meranti memproduksi sebesar 90 persen dari total hasil produksi sagu di Provinsi Riau atau setara 70 persen produksi sagu secara nasional.
“Potensi inilah yang harus dimaksimalkan mengingat adanya kebutuhan pangan yang dapat dipenuhi dan posisi Kabupaten Kepulauan Meranti yang berada di salah satu bagian terluar negara ini,” ujar Reni.
Saat ini, Sentra IKM Sagu di Kepulauan Meranti yang berlokasi di daerah Sungai Tohor telah memiliki kapasitas produksi tepung sagu kering sebesar 400 ton per bulan, dengan memiliki kemitraan sebanyak 18 IKM kilang sagu, dan memperkerjakan hingga 82 orang. Sentra ini menyuplai kebutuhan bahan baku para pelaku IKM pangan yang berasal dari berbagai wilayah di Provinsi Riau.
“Kami juga mendorong pemerintah daerah untuk terus melakukan peningkatan daya saing dan kualitas produk tepung sagu yang dihasilkan, dan saat ini produksi tepung sagu kering Sentra IKM Sagu Kepulauan Meranti telah memiliki beberapa sertifikat antara lain Sertifikat Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP), Sertifikat Indikasi Geografis Sagu Meranti, Sertifikat Izin Edar Pangan Olahan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), serta Sertifikat Halal Majelis Ulama Indonesia (MUI),” papar Reni. Demikian dilansir dari laman kemenperingoid, Sabtu (19/8).
[Redaktur: JP Sianturi]