WahanaNews.co | Indonesia kebanjiran untung atas krisis energi yang terjadi di China dan banyak negara di dunia. Keuntungan ini tak cuma didulang kalangan dunia usaha namun juga pemerintah.
"Sebenarnya ada semacam blessing in disguisse dari krisis energi ini karena Indonesia mengambil keuntungan dari peningkatan harga komoditas dan peningkatan permintaan harga komoditas utama," ungkap Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Yusuf Rendy Manilet kepada CNBC Indonesia, Senin (18/10/2021).
Baca Juga:
Hubungan Politik dan Ekonomi Indonesia-China
Dalam catatan Yusuf, sektor pertambangan bahkan sudah tumbuh 61% sepanjang Januari - Agustus 2021 dengan lonjakan terbesar dari komoditas batubara. Lebih tinggi dibandingkan dengan industri maupun pertanian.
"Kondisi ini juga yang ikut mendorong pertumbuhan ekspor di sepanjang 2021 ini," jelasnya.
Dampak lainnya adalah penerimaan negara, khususnya pada kelompok bea keluar dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sumber daya alam (SDA).
Baca Juga:
CIA Datangi Prabowo di AS, Ada Apa di Balik Pertemuan Misterius dengan Presiden Indonesia?
"Beberapa pos penerimaan negara seperti bea keluar dan juga PNBP Minerba mengalami pertumbuhan yang sangat signifikan, bea keluar tumbuh 891% pada Agustus, semetara pertumbuhan pertambangan minerba melonjak 87%," terang Yusuf.
Meski demikian, Yusuf mengingatkan bahwa keuntungan ini bisa berbalik jadi ancaman di waktu tertentu. Pemerintah diharapkan lebih antisipatif terhadap berbagai kemungkinan buruk yang muncul ke depannya.
"Dibalik keuntungan tersembunyi, ada risiko tersembunyi jika perekonomian China melambat akibat krisis energi," ujarnya
"Kita tahu bahwa China merupakan pemain utama perekonomian global, perlambatan perekonomian China secara tidak langsung akan ikut memperlambat pertumbuhan ekonomi global termasuk pertumbuhan ekonomi emerging market termasuk Indonesia," tegas Yusuf.
Di China, krisis pasokan listrik yang sedang terjadi memicu pemadaman listrik untuk rumah tangga dan memaksa pabrik untuk memangkas produksi.
Kondisi tersebut mengancam akan memperlambat kegiatan ekonomi raksasa negeri Tirai Bambu serta memberi tekanan terhadap rantai pasokan global.
Dilaporkan oleh Global Times, media yang dikendalikan pemerintah China, perusahaan-perusahaan di kota industri telah diberitahu untuk membatasi konsumsi energi demi mengurangi permintaan listrik.
Surat kabar yang dikelola pemerintah tersebut mengabarkan bahwa penjatahan listrik di provinsi Heilongjiang, Jilin dan Liaoning telah mengakibatkan gangguan besar pada kehidupan sehari-hari orang dan operasi bisnis dengan pemadaman listrik mendadak dan belum pernah terjadi sebelumnya melanda tiga provinsi timur laut pada akhir September lalu.
Selain itu kekurangan listrik juga melanda provinsi selatan Guangdong, pusat industri dan pengiriman utama sehingga banyak perusahaan berusaha mengurangi permintaan dengan bekerja dua atau tiga hari per minggu.
Krisis energi menambah daftar panjang gangguan rantai pasokan global yang telah terjadi secara besar-besaran tahun ini, mulai dari kekurangan peti kemas hingga banjir dan infeksi Covid-19 yang memicu penutupan pelabuhan.
Konsultan riset ekonomi yang berbasis di London, Capital Economics mencatat bahwa jumlah kapal yang antre di luar pelabuhan China telah melonjak lagi dalam beberapa pekan terakhir. [rin]