WahanaNews.co | Bagi perokok yang lagi bokek atau hanya korek api siap-siap tambah sulit lagi menikmati rokok.
Begitupun bagi pedagang yang menjual rokok batangan atau ketengan bisa jadi tidak bisa lagi menjualnya secara eceran.
Baca Juga:
Mudahkan Pelanggan Bayar Listrik, PLN Mobile Jalin Kolaborasi dengan MotionPay
Hal itu bisa terjadi bila pelarangan penjualan rokok secara eceran yang diwacanakan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) berlaku.
BPOM menilai pelarangan penjualan rokok ketengan atau batangan bisa menekan jumlah konsumen rokok di Indonesia.
Hal itu disampaikan Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Zat Adiktif BPOM Mayagustina Andarini.
Baca Juga:
Wamendag Roro Serahkan Penghargaan Perlindungan Konsumen 2024 kepada Para Kepala Daerah
"Kami setuju dengan rekomendasi kebijakan pengendalian tembakau yang perlu ditingkatkan, yaitu simplifikasi tarif Cukai dan pelarangan penjualan rokok batangan," kata Mayagustina Andarini.
Dalam Webinar Diseminasi Hasil Survei Harga Transaksi Pasar Rokok 2021, Rabu, 13 April 2022, ia mengatakan, wacana itu sangat bagus bila didukung seluruh stakeholders.
Namun demikian, dia mengakui sulitnya mengatur kebijakan penjualan rokok tersebut terhadap toko dan warung kecil, apalagi di daerah tepian.
"Tetapi Memang agak susah ya kalau itu sampe di warung-warung, sampai yang toko-toko kecil, daerah-daerah perifer (tepi), remote area, itu mengontrolnya," ujar Mayagustina Andarini.
"Namun kalau memang ada sanksi yang tegas, saya kira ini akan bisa dipatuhi. Jadi yang penting itu adalah adanya sanksi," tuturnya menambahkan.
Mayagustina Andarini pun merujuk pada data dari Badan Pusat Statistik tahun 2021 yang menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran perkapita masyarakat untuk rokok menempati posisi nomor satu.
Bahkan, pengeluaran masyarakat untuk rokok bisa menyalip pengeluaran terhadap beras sebagai kebutuhan pokok.
"Tahun 2021 menunjukkan rata-rata belanja rokok perkapita itu Rp76.583, sedangkan belanja padi-padian itu Rp69.786. Artinya rokok ini menjadi konsumsi terbesar," kata Mayagustina Andarini.
Tidak hanya itu, dia juga mengaku prihatin dengan tingkat konsumsi masyarakat untuk rokok yang sangat besar. Apalagi, konsumsi rokok tersebut didominasi oleh masyarakat rentan.
"Kami juga melihat, prihatin juga bahwa dengan adanya penjualan rokok eceran ini pendapatan pedagang rokok mencapai Rp400 ribu per hari," kata dia.
"Ya artinya konsumsi masyarakat untuk rokok ini sangat besar, terutama untuk masyarakat yang rentan," ucap Mayagustina Andarini.
"Nah ini yang kita mesti perhatikan, selain masalah cukai dan sebagainya, masalah kesehatan pun juga harus diperhatikan," ujarnya menambahkan.
Mayagustina Andarini mengatakan rokok yang dijual batangan bisa meningkatkan keuntungan maksimum bagi pedagang eceran dan produsen, serta meningkatkan daya beli.
"Karena kan daripada membeli satu bungkus, membeli eceran lebih murah. Jadi lebih terjangkau bagi orang yang miskin dan juga anak-anak yang uang sakunya terbatas sehingga dia mampu untuk membeli," katanya.
"Padahal kan sudah jelas bahwa Merokok itu untuk anak-anak tidak boleh tapi karena murah dan ingin coba-coba, ini memberikan peluang dan ini harus diberikan perhatian khusus, termasuk sanksinya juga harus tegas," tutur Mayagustina Andarini menambahkan.
Dia pun menuturkan bahwa jumlah perokok anak di Indonesia akan semakin banyak dengan adanya penjualan batangan ini.
"Dan tentu saja terjadi kegagalan tercapainya target prevalensi perokok pada anak yang tercantum pada RPJMN 2020-2024 yang sebesar 8,7, jadi akan sulit tercapai kalau anak-anak ada peluang untuk bisa membeli rokok eceran ini," ujar Mayagustina Andarini. [qnt]