DMO mewajibkan seluruh produsen minyak goreng yang akan melakukan ekspor untuk mengalokasikan 30 persen dari volume produksinya untuk kebutuhan dalam negeri. Sementara DPO mengatur harga minyak sawit mentah (CPO) di Tanah Air.
"Kebijakan yang terburu-buru menyebabkan pasokan semu yang tidak berkelanjutan serta harga minyak goreng kemasan tidak terkendali," kata Deddy.
Baca Juga:
Realisasi Investasi di Nagan Raya Aceh Tahun 2023 Naik Rp3,7 Triliun
Kebijakan selanjutnya adalah pemberian subsidi untuk minyak goreng curah melalui skema BPDPKS. Baginya, hal ini sangat rentan terhadap penyimpangan dalam bentuk migrasi konsumen, penimbunan, penyeludupan, dan pengalihan minyak goreng curah ke industri dan ke luar negeri.
Demikian pula kebijakan menaikkan pungutan ekspor (levy), katanya, hal ini tidak akan efektif jika disparitas harga pasar internasional dengan domestik masih cukup lebar.
Menurut pria kelahiran Pematang Siantar ini, mengatasi kelangkaan minyak goreng sebenarnya tidak terlalu sulit karena fundamentalnya adalah memastikan adanya pasokan bahan baku yang cukup dan rantai pasok/sistem distribusi tidak bocor.
Baca Juga:
Polresta Bandung Ringkus Pelaku Penyalahgunaan BBM Subsidi Jenis Solar di Bojongsoang
"Masalah fundamental tersebut hanya bisa diatasi jika ada pengaturan tata niaga yang baik, adil, transparan, pengawasan, penegakan hukum yang konsisten, dan efektif," papar Deddy.
Deddy menilai kenaikan harga minyak goreng yang konsisten sejak akhir tahun 2021 sebenarnya adalah akibat pengaruh melonjaknya harga komoditas CPO dan turunannya di pasar dunia.
Hal ini mendorong para pengusaha melakukan ekspor untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya sehingga menyebabkan kelangkaan dan memicu kenaikan harga.