Ketika pemerintah melalui Kementerian Perdagangan mengeluarkan kebijakan DMO, DPO, dan HET, maka para produsen CPO banyak yang menahan produksinya sehingga menyebabkan pasokan minyak goreng sulit didapatkan oleh pabrikan.
Sementara CPO yang dihasilkan melalui kebijakan DMO tersebut ke pabrik minyak goreng, tidak tersalurkan karena di tingkat distributor terjadi kebocoran dalam bentuk penimbunan, spekulasi, dan penyeludupan.
Baca Juga:
Realisasi Investasi di Nagan Raya Aceh Tahun 2023 Naik Rp3,7 Triliun
"Hal inilah yang memicu kelangkaan, kenaikan harga dan akhirnya menyebabkan "panic buying" di tengah-tengah masyarakat. Saya tidak melihat paket kebijakan yang ada itu menjawab persoalan mendasar," ujar Anggota DPR dari Daerah Pemilihan Provinsi Kalimantan Utara tersebut.
Dia menjelaskan kebutuhan bahan baku minyak goreng itu hanya 5,7 juta ton, sementara produksi mencapai 51 juta ton dalam bentuk CPO dan PKO. Artinya kebutuhan itu hanya 10 persen dari total produksi alias barangnya lebih dari cukup.
"Persoalannya adalah tata niaga dan penegakan hukum, itu inti masalahnya. Tata Niaga itu berarti harus dimulai sejak penentuan harga TBS, harga, dan pasokan CPO, mekanisme distribusi dan harga ketika sampai di tingkat konsumen. Jika rantai pasok bahan baku dan distribusi produk tidak diawasi, penegakan hukumnya lemah maka persoalan tidak akan pernah selesai," papar Deddy.
Baca Juga:
Polresta Bandung Ringkus Pelaku Penyalahgunaan BBM Subsidi Jenis Solar di Bojongsoang
Dalam konteks itu, Deddy mengaku sungguh tidak habis pikir dengan belum selesainya masalah ini karena kerangka hukum dan regulasi tentang minyak goreng sudah cukup jelas.
Pasal 25, UU No. 7 tahun 2014 tentang Perdagangan secara jelas mengatakan bahwa minyak goreng merupakan salah satu komoditas yang ketersediaan harus dikendalikan pemerintah dan pemerintah daerah agar selalu tersedia dalam jumlah yang memadai, mutu yang baik, dan harga yang terjangkau.
Perpres No. 72/2015 dan Perpres No. 59/2020 memberikan kewenangan bagi Kementerian Perdagangan dalam menetapkan dan menyimpan barang pokok dan barang penting lainnya. Termasuk dalam hal menetapkan kebijakan harga, mengelola stok, logistik, mengelola ekspor, dan impor.