"Kami dari MKI terus menyuarakan soal pemberian insentif ini. Harapannya, dengan adanya insentif ini maka biaya pokok produksi bisa berkurang dan mampu menarik minat investor untuk masuk ke Indonesia," kata Wiluyo.
Tantangan lain, kata dia, adalah persoalan lahan. Dalam RUPTL tergambar bahwa porsi PLTS nantinya akan lebih mendominasi, seiring dari sisi teknologi, proyek-proyek PLTS semakin tahun semakin kompetitif.
Baca Juga:
Dukung Pengembangan EBT di Indonesia, PLN Siap Jalankan Permen ESDM Nomor 2 Tahun 2024 terkait PLTS Atap
Namun, dia mengingatkan jika pembangunan PLTS ini bisa saja terhambat karena persoalan lahan. Oleh karena itu, perlu adanya kerja sama baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam mempercepat proyek ini.
"Proses pembebasan lahan ini butuh peraturan daerah. Ada payung regulasi, tapi biar bergulir ya perlu ada kemudahan," katanya.
Dia juga menyebutkan tantangan lain yakni dari sisi kemudahan dalam pendanaan. Saat ini, kata dia, banyak lembaga keuangan yang beralih dari pembiayaan fosil ke pembiayaan EBT. Hanya saja, bunganya masih relatif tinggi di antara 7-8 persen.
Baca Juga:
Resmikan HRS Pertama di Indonesia, Langkah PLN Diapresiasi Berbagai Pihak
"Untuk bisa pendanaan ini ditangkap oleh investor perlu adanya penurunan suku bunga pinjaman yang lebih ramah lagi dan mendukung para investor. Ini juga perlu dukungan pemerintah, baik dari sisi penjaminan maupun dukungan membuka kerja sama dengan negara atau lembaga donor lainnya," ujarnya.
Sementara itu, anggota Komisi VII DPR RI Dyah Roro Esti Widya Putri mengungkapkan, 30 persen dari total emisi saat ini berasal dari sektor energi. Maka dari itu, Komisi VII DPR RI terus mendorong pemerintah untuk melakukan terobosan dengan membuat peraturan untuk transisi energi di Indonesia.
"Tanpa adanya payung hukum yang bisa mendorong perkembangan industri, maka industri tidak punya insentif untuk bergerak. Karena dari sisi harga, EBT akan selalu kalah dari energi fosil," tuturnya.