Mochtar kemudian menjabat sebagai presiden direktur Bank Kemakmuran meski ia sendiri mengaku belum bisa membaca laporan keuangan secara profesional.
"Di Bank Kemakmuran, saya banyak mendapat pelajaran dan pengalaman sehingga bisa mengenal sifat manusia yang umumnya serakah dan egoistik,” aku Mochtar.
Baca Juga:
APBN Harus Transparan, Eddy Soeparno Minta Audit Sebelum Pembangunan Ulang Ponpes Al Khoziny Dimulai
Setelah itu, ia memilih mencari mitra baru yang lebih berkarakter baik dan memiliki modal kuat untuk membangun bank yang lebih sehat secara struktur.
Kesempatan datang ketika Ma Zhong, pemilik Bank Buana, menghadapi kerugian karena manajemen yang buruk sehingga memberikan peluang akuisisi.
Pada 1963, Mochtar dan mitranya mengambil alih Bank Buana dan berhasil mendorongnya masuk peringkat enam besar bank nasional hanya dalam dua tahun, tepatnya pada 1965.
Baca Juga:
Sepekan 1.084 Anak Tumbang, JPPI Sebut Keracunan MBG Sudah Masuk Fase Darurat Nasional
Ketika krisis perbankan melanda Indonesia pada 1965-1966, Bank Buana menjadi salah satu dari sedikit bank yang selamat sementara Bank Kemakmuran justru tumbang dan akhirnya diambil alih oleh Mochtar.
Pada 1971, lahirlah Pan Indonesia Bank atau Panin Bank dari hasil merger Bank Industri dan Dagang Indonesia, Bank Industri Jaya Indonesia, dan Bank Kemakmuran.
Kiprah Mochtar Riady semakin konsisten setelah ia bergabung dengan Bank Central Asia (BCA) atas ajakan Sudono Salim atau Liem Sioe Liong dalam sebuah penerbangan menuju Hong Kong.