WahanaNews.co | Nuklir menjadi salah satu andalan dunia untuk mencapai net zero emission di tahun 2050.
Diperkirakan sekitar delapan persen suplai listrik dunia di masa depan dipenuhi oleh sumber energi atom ini.
Baca Juga:
Komisi VII DPR Dukung Langkah PLN Kembangkan Super Grid, Smart Grid dan Smart Control Center
Posisinya menduduki peringkat kedua setelah sumber energi baru terbarukan (EBT) yang diproyeksikan akan menyuplai sekitar 88 persen kebutuhan listrik secara global.
Sejumlah pembangkitan EBT akan didorong menjadi tulang punggung utama di masa masa depan.
Terutama untuk pembangkitan dari energi surya, angin, dan air.
Baca Juga:
Irjen Sumadi Bawa Pulang Piala Bergilir Turnamen Golf Gatrik IKAPELEB ESDM 2023
Berdasarkan laporan Net Zero by 2050 A Roadmap for the Global Energy Sector yang diterbitkan oleh International Energy Agency (IEA), kapasitas terpasang PLTN akan terus meningkat.
Pada 2020, kapasitas listrik dari nuklir di dunia mencapai besaran 415 GW.
Pada 2030, kapasitasnya diperkirakan bertambah sekitar 24 persen menjadi sekitar 515 GW.
Pada 2050, melonjak lagi sekitar 1,5 kali lipatnya menjadi 812 GW.
Kapasitas pembangkitan nuklir ini pada 2030 dan 2050 hanya mengusai 2-3 persen pembangkitan energi listrik yang ada di seluruh dunia.
Besaran ini relatif sangat kecil secara global. Meskipun demikian, nuklir memiliki keandalan pasokan energi yang tergolong tinggi di dunia.
Dengan share kapasitas yang relatif kecil itu, ternyata seluruh reaktor nuklir mampu menghasilkan suplai energi hingga kisaran 8-10 persen kebutuhan listrik dunia.
Artinya, nuklir mampu menghasilkan output energi yang besar meskipun dengan kapasitas terpasang relatif kecil bila dibandingkan pembangkit lainnya.
Kapasitas faktor atau daya mampu yang dihasilkan PLTN tersebut sangat tinggi dan terbesar di antara pembangkit lainnya.
Rata-rata di sejumlah negara seperti Amerika, Uni Eropa, China, dan India besaran kapasitas faktor pada tahun 2020 berkisar antara 70-90 persen dari daya maksimal.
Besaran ini sangat tinggi jika dibandingkan dengan pembangkit jenis lainnya.
Pembangkit batubara berkisar 20-60 persen, pembangkit gas 40-55 persen, solar PV tidak lebih dari 21 persen, dan pembangkit tenaga listrik dari angin 25-42 persen.
Selain andal menghasilkan pasokan listrik yang besar, nuklir juga termasuk sumber pembangkitan rendah emisi.
Dewan Energi Nasional (DEN) pada tahun 2011 melaporkan bahwa berdasarkan pengujian International Atomic Energi Agency (IAEA), emisi yang dihasilkan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) hanya 9-21 gram CO2/kWH.
Berbeda jauh dengan pembangkit yang menggunakan energi fosil seperti batubara, minyak bumi atau solar, dan gas alam yang menghasilkan GRK per kWh listrik 974 gr CO2, 962 mg SO2, dan 700 mg NOX.
Perbedaan output emisi itu menyebabkan PLTN di seluruh dunia mampu mereduksi CO2 setidaknya mencapai 2 gigaton setahun.
Oleh karena itu, menurut IEA, pada masa transisi menuju net zero emission pada 2050, pembangkit rendah karbon seperti PLTA dan PLTN sangat dibutuhkan untuk menopang keberhasilan target reduksi emisi itu.
Kedua jenis pembangkit ini memiliki stabilitas sistem kelistrikan sangat baik sebagai base load yang belum dapat tersaingi oleh pembangkit EBT jenis lainnya.
Keunggulan dalam segi optimalisasi daya mampu dan reduksi emisi yang besar dari PLTN tersebut membuat sejumlah negara di dunia tetap mengembangkan nuklir sebagai komplementer suplai energi listriknya.
Sejumlah negara yang sudah memiliki reaktor nuklir berusaha untuk terus mengembangkan pembangkitan baru dengan menggunakan teknologi mutakhir generasi keempat yang lebih aman dari teknologi sebelumnya.
Sebagian negara pemilik reaktor nuklir juga mulai melakukan terminasi pada PLTN yang sudah berteknologi lama, seperti PLTN generasi pertama dan kedua.
Hal ini tentu saja untuk mencegah terjadinya kecelakaan produksi energi yang membahayakan bagi lingkungan dan masyarakat sekitarnya.
Terminasi ini biasanya diikuti dengan pengembangan reaktor PLTN baru dengan teknologi mutakhir generasi keempat dan pengembangan pembangkitan dari kelompok EBT.
Pemilik Reaktor Nuklir
Berdasarkan data dari IAEA tahun 2019, setidaknya ada 31 negara yang sudah memiliki reaktor PLTN.
Negara tersebut bervariasi kondisi perekonomiannya bila dilihat dari struktur pendapatan per kapita.
Negara maju dengan tingkat pendapatan per kapita di atas 12.535 dollar AS ada 18 negara.
Negara emerging market pemilik PLTN ada 13 negara.
Negara emerging ini jika diklasifikasi tingkat pendapatannya terbagi menjadi dua lagi, yakni lower middle income dan upper middle income.
Pendapatan per kapita lower middle income 1.036 dollar AS - 4.045 dollar AS, dan upper middle income 4.046 dollar AS - 12.535 dollar AS.
Jika menelisik satu per satu negara yang mengembangkan nuklir ternyata negara-negara bersangkutan adalah negara yang memiliki andil besar dalam perekonomian dunia.
Bahkan, negara-negara yang diproyeksikan akan menguasai perekonomian dunia di masa depan mayoritas juga sudah mengembangkan nuklir.
Saat ini, produksi barang dan jasa dunia dikuasai oleh negara G-7 yang terdiri dari Amerika, Jepang, Jerman, Perancis, Inggris, Kanada, dan Italia.
Ketujuh negara ini merupakan kelompok negara yang memiliki reaktor nuklir hingga saat ini.
Kecuali Italia yang sudah menutup reaktor pembangkit listriknya setelah kejadian kecelakaan reaktor Chernobyl Russia.
Italia hingga saat ini mengimpor sekitar 8 persen kebutuhan listriknya dari nuklir yang diimpor dari Swiss dan Perancis.
Menurut perusahaan konsultan internasional Pricewaterhouse Coopers (PwC), pada 2050, perekonomian negara G-7 akan dikalahkan oleh perekonomian negara emerging market yang berkembang pesat.
Negara ini berjuluk E-7 yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, dan China (BRIC) ditambah dengan Meksiko, Indonesia, dan Turki.
Hampir sama seperti kelompok G-7, semua negara yang diperkirakan akan menjadi negara maju dari E-7 ini juga memiliki reaktor nuklir.
Kecuali Indonesia yang tidak atau belum mengembangkan reaktor PLTN di negaranya.
Hampir semua negara E-7 terus berupaya mengembangkan dan menambah reaktor baru, seperti di Brasil, Rusia, India, China, dan Turki.
India dan China merupakan yang paling masif membangun reaktor baru di negaranya masing-masing.
India sudah memiliki 22 reaktor PLTN berkapasitas 6,25 GW dan sekarang membangun baru lagi 7 reaktor hampir setara 5 GW.
China sudah memiliki 48 reaktor berkapasitas kisaran 45 GW dan sekarang menambah reaktor baru 11 unit berkapasitas 10,5 GW.
Turki memulai untuk membangun reaktor baru setara 1,1 GW.
Realitas tersebut menjadi menarik dikaji lebih dalam terkait belum dikembangkannya reaktor PLTN di Indonesia.
Sejarah panjang kepemilikan reaktor riset di Indonesia sejak Presiden Soekarno ternyata belum juga membuat pemerintah Indonesia yakin untuk mengembangkan PLTN hingga saat ini.
Padahal, kondisi perekonomian Indonesia dilihat dari segi pendapatan per kapita secara umum jauh lebih baik dari India.
Pendapatan per kapita Indonesian yang saat ini berkisar 3.800 dollar AS/tahun, jauh lebih banyak dari India yang hanya 1.900-an dollar AS/kapita.
Kenyataan saat ini India sangat masif untuk membangun PLTN guna menunjang kemajuan perekonomiannya.
Prediksi PwC nanti pada tahun 2035, gabungan ekonomi negara-negara BRIC akan mengalahkan gabungan ekonomi negara maju G-7.
Artinya, India akan segera tampil sebagai salah satu negara terkuat di dunia.
Langkah India yang sudah mengembangkan nuklir sejak akhir era 60-an tersebut akhirnya ditiru saat ini oleh negara tetangganya, yakni Bangladesh.
Negara dengan tingkat pendapatan per kapita yang mirip dengan India 1.900-an dolar AS per kapita ini juga berupaya mengembangkan nuklir untuk mereduksi penggunaan energi fosil di negaranya.
Bangladesh mulai membangun reaktor PLTN sejak tahun 2017 dan diperkirakan akan mulai beroperasi secara komersial mulai tahun 2023-2024.
Baik India maupun Bangladesh adalah negara yang memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap energi fosil pada pembangkitan listriknya.
India sekitar 78 persen dan Bangladesh 99 persen.
Sekitar 93 persen pembangkitan fosil di India bersumber dari batubara.
Untuk pembangkitan di Bangladesh sekitar 76 berasal dari gas alam dan 21 persen dari minyak bumi.
Tingginya ketergantungan dari sumber energi fosil ini mendorong kedua negara ini kian masif untuk mengembangkan energi yang lebih ramah lingkungan.
Salah satunya adalah dengan membangun reaktor nuklir.
Fenomena penggunaan fosil pada pembangkitan listrik di kedua negara tersebut relatif mirip dengan Indonesia.
Sekitar 85 persen pembangkit listrik di Indonesia bersumber dari batubara, gas alam, dan minyak bumi.
Penggunaan energi dari EBT masih kurang dari 15 persen.
Hingga saat ini, Indonesia belum melibatkan nuklir dalam upaya menuju zero emission dunia.
Bahkan, dalam rencana mitigasi reduksi emisi hingga tahun 2050 sekalipun, nuklir sama sekali belum dilibatkan.
Padahal, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) tahun 2015-2035 disebutkan bahwa industri PLTN akan dikembangkan pada 2020-2024 dan 2025-2035.
Bisa jadi, belum dikembangkannya reaktor PLTN di Indonesia ini diselaraskan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
Kedua kebijakan pemerintah ini menyebutkan pemanfaatan energi nuklir akan dipertimbangkan setelah pemanfaatan sumber energi baru dan energi terbarukan sudah dimaksimalkan.
Energi nuklir dimanfaatkan dengan mempertimbangkan keamanan pasokan energi nasional dalam skala besar, mengurangi emisi karbon, tetap mendahulukan potensi EBT sesuai nilai keekonomiannya, serta dipertimbangkan sebagai pilihan terakhir dengan memperhatikan faktor keselamatan secara ketat. [qnt]
Artikel ini sudah tayang di Kompas.id dengan judul “Nuklir, Salah Satu Andalan Dunia Menuju Emisi Nol”. Klik untuk baca: https://www.kompas.id/baca/riset/2021/09/19/nuklir-salah-satu-andalan-dunia-menuju-emisi-nol/.