"Dengan hal tersebut maka fluktuasi harga diredam, dengan hal tersebut oversupply dan shortage supply produk pertanian dapat dihindari," tambahnya.
Tak hanya itu, sambung Sujarwo, menurutnya yang ketiga, pangan adalah hak setiap individu untuk dapat dipenuhi dalam jumlah yang cukup, waktu dan kualitas yang tepat sehingga individu dapat hidup sehat dan produktif.
Baca Juga:
Wamentan Bicara Food Estate dan Cetak Sawah di Rapat Koordinasi Kemenko Perekonomian
"Dalam hal ini, maka kekuatan menghadapi krisis pangan ada pada kekuatan individu untuk akses pangan, ada pada kekuatan individu, Lembaga masyarakat dan Lembaga negara untuk menyediakan pangan (supply side)," ungkapnya.
Menurutnya, salah satu jalan untuk hadapi krisis pangan memang bisa dengan food estate. Tetapi terlalu menggantungkan pada food estate artinya kita menganggap produksi pangan oleh masyarakat tidak signifikan dan kesulitan produsen pangan (petani), yang sudah menjadi mata pencahariannya, cenderung dianggap tidak penting.
"Artinya, mitigasi problem krisis pangan harus menggunakan pendekatan yang melibatkan banyak pihak (multi-sektor) dibarengi dengan optimalisasi sisi demand dan sisi supply sekaligus," katanya.
Baca Juga:
Soroti Ketahanan Pangan, Luhut Bangga dengan Food Estate Humbang Hasundutan Sumut
Selain itu, kata Sujarwo, karena yang dihadapi adalah ancaman pangan global maka kehadiran program seperti food estate bukan hanya untuk membantu pangan nasional saja tetapi juga dunia.
"Optimalisasi ketahanan pangan berkelanjutan yang kita miliki, level pemikirannya seharusnya adalah untuk dapat membantu bangsa-bangsa lain yang kesulitan pangan, bukan hanya memikirkan pangan kita sendiri saja." lanjutnya.
Keempat, lanjut Sujarwo, Food estate harus menjadi corong pembaharuan sistem pertanian nasional. Ini dicapai dengan membuat sistem informasi kepada masyarakat yang terbuka, kredible, dan akuntable.