WahanaNews.co | Kepala Biotech Center IPB University Dwi Andreas Santosa mengungkapkan, tren penurunan luas areal tanam padi di Indonesia akan terus berlanjut.
Pasalnya, kata dia, biaya yang semakin mahal, sementara harga terus turun menjadikan bertanam padi tak lagi menarik dan menguntungkan petani.
Baca Juga:
Polda Kalsel Berhasil Selamatkan 463.299 Petani dari Peredaran Pupuk Ilegal
"Peralihan lahan pertanian ke non pertanian akan semakin pesat. Hingga mencapai kritis, peningkatan produksi nggak lagi dimungkinkan. Sementara, kalau mau bangun food estate, selama seperempat abad ini selalu gagal," kata Dwi Andreas kepada wartawan, dikutip Rabu (6/7/2022).
Konversi lahan tersebut, lanjut dia sebenarnya sudah terjadi. Terbukti, imbuh dia, produksi beras di Indonesia terus turun.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis, luas panen padi tahun 2021 turun 2,3% atau 245,47 ha menjadi sekitar 10,41 juta ha dibandingkan tahun 2020 yang mencapai 10,66 juta ha.
Baca Juga:
Kekeringan Ancam Panen Padi di Labura, Petani Terancam Rugi
Akibatnya, produksi padi tahun 2021 turun 0,43% atau 233,91 ribu ton menjadi 54,42 juta ton gabah kering giling (GKG) dibandingkan tahun 2020 yang sebanyak 54,65 juta ton GKG.
Sehingga, produksi beras pada 2021 untuk konsumsi pangan penduduk mencapai 31,36 juta ton. Susut sebanyak 140,73 ribu ton atau 0,45% dibandingkan produksi beras di 2020 yang sebanyak 31,50 juta ton.
"Sejak tahun 2015 sampai 2021, produksi padi terus turun, mencapai 0,35% per tahun. Tahun 2017, produksi turun tajam sampai 7,7% di tahun 2019. Bahkan saat La Nina, produksi tahun 2020 hanya naik 0,09% dan turun 0,42% di tahun 2021," kata Dwi Andreas.
Hal itu, lanjut dia, dipicu 2 hal. Pertama, rumah tangga beralih ke sumber pendapatan lain karena bertani tak lagi menguntungkan.
"Lahannya dijual, lalu terjadi konversi jadi lahan nonpertanian. Kedua, petani ya sudah menyerah, pasrah hidup sekadarnya saja mereka itu. Menanam padi cuma buat mengamankan stok konsumsi mereka saja," kata Dwi Andreas.
"Stok beras ke depan akan mengkhawatirkan, apalagi sekarang ada wacana aneh-aneh. Mau eksporlah. Sementara, stok pemerintah itu di tahun 2022 ini sangat rendah. Terendah, hanya 1 juta. Di sisi lain, petani sudah semakin malas menanam padi," katanya.
Pasalnya, lanjut Dwi Andreas, petani harus menanggung biaya besar dan semakin mahal untuk bertanam padi. Salah satunya, untuk biaya pupuk.
Memang, imbuh dia, pemerintah memberikan pupuk bersubsidi, tapi hanya bisa memenuhi kebutuhan sekitar 50% dari total konsumsi pupuk petani. Sehingga, petani pun harus membeli lagi pupuk nonsubsidi.
Harga pupuk subsidi memang nggak naik, tapi nonsubsidi naik sangat tinggi. Nggak kuat juga beli, dan ini merembet ke produksi jadinya.
Tahun 2019, jaringan tani Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) melakukan survei, bahwa untuk memproduksi 1 kg gabah kering panen (GKP) dibutuhkan biaya Rp4.523. Sementara, saat ini, petani itu selalu merugi Rp250 ribuan setiap musim tanam," papar Dwi Andreas.
Pengamat Pertanian Khudori mengatakan hal senada.
"Ongkos usaha tani naik terus sepanjang dua tahun terakhir, tapi harga jual gabah/beras stagnan, bahkan turun. Tak banyak yang menyadari, sejak April 2020 sampai sekarang, harga GKP di level petani dan GKG di penggilingan yang jatuh di bawah HPP berlangsung terus menerus. Ini belum pernah terjadi dalam sejarah perberasan," kata Khudori kepada CNBC Indonesia, dikutip Rabu (6/7/2022).
Sementara itu, Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo mengatakan bekerja sama dengan Kementerian ATR/BPN. Terkait Peraturan Menteri ATR/BPN No 1/2021 tentang Sertifikat Elektronik.
Sebab, sertifikasi elektronik akan memudahkan intergasi data, verifikasi lagan dalam rangka menjaga ketahanan pangan nasional, dan bisa mengendalikan konversi lahan nonsawah.
"Reforma Agraria tahun 2021 belum memberi kepastian ketersediaan areal pertanian yang cukup untuk mewujudkan produksi pertanian dalam rangka menopang ketahanan pangann yang kuat. Kita butuh kejelasan lokasi dan lahan untuk dikonsepsikan, nggak bisa biarkan begitu saja atau respons sesaat," kata Syahrul saat rapat kerja pemerintah dengan BAKN DPR bersama Menteri ATR/BPN dan Menteri LHK, Senin (4/7/2022.
Selain itu, kata Syahrul, dibutuhkan instrumen hukum yang mengatur pemerintah kabupaten/ koya untuk mengintegrasikan penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) dalam peraturan daerah yang mengatur tentang rencana tata ruang dan/ atau rencana zonasi.
Tahun 2019, Kementerian ATR/BPN menetapkan luas lahan baku sawah nasional 2019 berdasarkan Keputusan Menteri ATR/Kepala BPN No. 686/SK-PG.03.03/XII/2019 tentang Penetapan Luas Lahan Baku Sawah Nasional Tahun 2019 sebesar 7.463.948 ha.
Padahal, dalam catatan Kementerian Pertanian (Kementan) mengutip BPS tahun 2013, luas lahan baku nasional tercatat mencapai 7,75 juta ha. [rin]