Selain itu, langkah pemerintah untuk tetap mempertahankan bahan bakar fosil dengan melakukan co firing biomassa pada PLTU justru akan menimbulkan risiko stranded asset dan lingkungan yang lebih besar jika dibandingkan dengan fokus mengembangkan energi terbarukan seperti energi surya. PLN bahkan sudah mengidentifikasi tantangannya seperti keberlanjutan suplai biomassa yang diperlukan mencapai 8-14 juta ton per tahun, dampak pada efisiensi PLTU serta kenaikan BPP.
Di sisi lain, RUPTL 2030 juga telah merencanakan pengembangan interkoneksi ketenagalistrikan di dalam pulau maupun antar pulau untuk meningkatkan keandalan listrik dan mendistribusikan energi baru terbarukan yang sumbernya berada jauh dari pusat beban.
Baca Juga:
Kebut Elektrifikasi dan EBT, PLN Kantongi Pendanaan US$ 581,5 Juta dari Bank Dunia
Pemerintah menargetkan pada tahun 2024 interkoneksi di dalam Pulau Kalimantan dan Sulawesi sudah terwujud dalam sistem supergrid untuk mengatasi adanya over supply di suatu sistem besar. Pemerintah juga sedang mengkaji pengembangan jaringan interkoneksi antar Sumatera-Jawa dan Bali-Lombok.
Merujuk pada kajian Deep decarbonization of Indonesia’s energy system, rencana jaringan interkoneksi di dalam pulau dan antarpulau ini merupakan hal yang baik dan patut dikawal pengembangannya.
Selain itu, pengembangan energi terbarukan bervariasi (VRE) khususnya energi surya difokuskan pada tiga strategi: PLTS untuk listrik perdesaan (lisdes), de-dieselisasi, dan tersambung jaringan (baik PLN maupun IPP). Meski demikian, de-dieselisasi dengan konversi PLTD menjadi PLTS yang dilengkapi dengan baterai dengan total kapasitas 1,2 GWp hanya ditujukan untuk sistem-sistem terisolasi yang tidak dimungkinkan untuk dikoneksikan dengan transmisi PLN.
Baca Juga:
Kebut Elektrifikasi dan EBT, PLN Kantongi Pendanaan US$ 581,5 Juta dari Bank Dunia
“Jika dimaksudkan untuk mendorong penetrasi energi terbarukan yang lebih agresif, pemanfaatan energi terbarukan setempat, baik surya atau sumber energi terbarukan lainnya, sebaiknya menjadi strategi utama penyediaan akses energi, bukan pengganti, dan harus memperhatikan aspek keberlanjutan dan keandalan,”ungkap Marlistya Citraningrum, Manager Program Akses Energi Berkelanjutan IESR.
Tidak hanya itu, target 4,7 GW PLTS hingga 2030 yang tercantum dalam RUPTL terbaru ini kurang mencerminkan potensi dan project pipeline PLTS yang jauh lebih besar. Laporan Scaling Up Solar in Indonesia, bahkan menunjukkan setidaknya membutuhkan minimal 18 GW hingga 2025 untuk merealisasikan target 23 persen bauran energi terbarukan.
Sementara menurut kajian IESR Deep decarbonization of Indonesia’s energy system untuk mengejar Indonesia bebas emisi di tahun 2050, diperlukan 107 GW PLTS di tahun 2030 yang dilengkapi dengan sistem penyimpanan. [rin]