WahanaNews.co | Program hilirisasi nikel Indonesia terbilang berhasil. Tahun 2022, proyek andalan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) ini sukses mendongkrak nilai ekspornya menjadi US$ 33,81 miliar atau Rp504,2 triliun (kurs Rp14.915 per US$).
Angka tersebut melonjak 745% dari nilai ekspor pada tahun 2017, ketika Indonesia hanya mengekspor bahan mentah berupa bijih nikel. Nilai ekspor nikel pada 2017 yakni hanya sekitar US$ 4 miliar.
Baca Juga:
Hadiri Pertemuan Informal Tingkat Menteri WTO, Wamendag: Momentum Akselerasi Kerja Sama Antar Negara
"Dulu pendapatan kita hanya US$ 4 miliar di 2017. Tahun lalu US$ 34 miliar. Dan tahun ini saya pikir bisa naik," ujar Luhut dalam acara Jakarta Geopolitical Forum VII, dikutip Kamis (14/6/2023).
Oleh sebab itu, saat ini pemerintah terus gencar menggenjot program hilirisasi di dalam negeri. Pemerintah kata Luhut, tidak akan melakukan kegiatan penjualan bahan mentah ke luar negeri.
"Kita sudah mempunyai industrinya tapi ini baru satu sektor saja. Kita belum bicara bagaimana hilirisasi besi baja dan lainnya," kata dia.
Baca Juga:
Soal Nikel Indonesia Banding di WTO, Jokowi: Saya Yakin Kalah Lagi!
Sampai pada April 2023 ini, realisasi nilai ekspor nikel hasil hilirisasi sudah mencapai US$ 11 miliar atau Rp 165 triliun. "Tahun ini saya pikir bisa naik," ujar Luhut
Melansir CNBC Indonesia, karena program hilirisasi nikel dan larangan ekspor bijih nikel, pemerintah Indonesia digugat oleh Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO).
Menko Luhut juga kelihatan sangat geram saat berbicara mengenai WTO. Indonesia saat ini menguasai cadangan mineral kritis berupa nikel yang cukup besar. Oleh sebab itu, ia mempertanyakan kenapa negara ini tidak boleh mengolah bijih nikelnya sendiri di dalam negeri.