WahanaNews.co | Pemerintah terus gaspol pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) untuk mencapai target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 23% pada 2025.
Namun nyatanya, mayoritas solar panel di dunia adalah buatan China, di mana sekitar 70%-80% solar panel adalah pabrikan China.
Baca Juga:
PLN Siap Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2040 Lewat Kolaborasi Swasta
Menanggapi hal ini, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra Talattov mengatakan, pasokan kelistrikan RI saat ini dalam kondisi surplus alias kelebihan pasokan. Mendorong pemanfaatan PLTS artinya akan ada konsekuensi yang harus ditanggung PT PLN (Persero) selaku operator kelistrikan di negeri ini.
"Pihak swasta yang diuntungkan karena sama-sama tahu dominasi impor. Jadi untuk kondisi saat ini industri komponen PLTS Atap masih minim, yang diuntungkan industri di luar negeri, khususnya China, yang suplai khususnya modul dan baterai untuk produk PLTS," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Senin (01/11/2021).
Komponen PLTS yang masih banyak disuplai dari impor menurutnya adalah modul dan baterai. Karena sebagian besar komponen PLTS masih diimpor, dia pun menyarankan agar pemerintah mendorong industri komponen di dalam negeri dibangun terlebih dahulu sebelum menggencarkan PLTS.
Baca Juga:
PLN Siap Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2040 Lewat Kolaborasi Swasta
"Kencangkan dulu di dalam negeri, saat penggunaan PLTS masih sesuai RUPTL komponen ini bersumber dari dalam negeri," ujarnya.
Lebih lanjut Abra mengatakan, dengan mendorong industri komponen di dalam negeri, maka akan berdampak pada peningkatan nilai tambah industri. Menurutnya, industri mineral akan semakin termanfaatkan jika pabrik panel surya ini dibangun di dalam negeri.
"Sudah terbentuk BUMN baterai itu kan juga jadi backbone dorong pengembangan PLTS di dalam negeri, karena masih adanya sifat intermittent," tuturnya.
Sebelumnya, Wakil Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo mengungkapkan pada 2001 China telah menerapkan bauran energi (energy mix), di mana 50% menggunakan energi fosil dan 50% dari EBT.
Kemudian pada 2019, pembangkit batu bara justru meningkat, mendekati 86%. Artinya, di saat itu China menekankan pertumbuhan ekonomi, tapi tidak menekankan pada keberlanjutan lingkungan karena hanya memikirkan energi murah.
Namun, kata Darmawan, di saat bersamaan China membangun kekuatan yang didominasi dengan produk-produk EBT, dan saat ini hampir 70% hingga 80% solar panel di dunia adalah buatan China.
"Artinya, China pun thrifting perubahan iklim dengan akselerasi pertumbuhan ekonomi, tapi di satu sisi berkesempatan membangun kapasitas nasionalnya. Ketika itu tercapai, China membangun lagi kekuatan EBT, bukan hanya domestik, tapi juga internasional," jelas Darmawan. [qnt]