WahanaNews.co | Setelah anjlok selama 4 pekan, harga batu bara mulai bangkit dalam dua pekan terakhir ini. Meski demikian, masa depan batu bara tampaknya tetap akan suram, sebab banyak negara bersama-sama membangun aliasi dan pakta untuk secara perlahan mengurangi penggunaannya karena emisi yang ditimbulkan adalah salah satu pemicu pemanasan global.
Melansir data dari Refinitiv, harga batu bara acuan ICE Newcastle melesat 11,4% ke US$ 176/ton di pekan ini, setelah pekan lalu juga menguat 7,5% ke level US$ 158/ton. Sementara 4 pekan sebelum itu, secara beruntun harganya jeblok nyaris 40%.
Baca Juga:
Pertamina Patra Niaga Regional JBB Awasi Takaran Isi Tabung LPG 3 kg
Meski mengalami kenaikan dalam dua pekan harga batu bara saat ini masih 37% di bawah rekor tertinggi sepanjang masa US$ 280/ton yang dicapai 5 Oktober lalu.
Masa depan yang suram ditambah dengan intervensi dari China membuat harga batu bara yang sebelumnya terus meroket berbalik nyungsep, sebelum berhasil menguat minggu ini karena faktor teknikal.
Setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan lonjakan harga batu bara dalam dua pekan ini. Satu, rebound atas koreksi 51,03% setelah menyentuh titik puncak, di mana harganya jatuh hingga ke US$ 137,1/ton pada 2 November 2021.
Baca Juga:
Kementerian ESDM Temukan LPG Oplosan di Jabodetabek-Bali, Dijual Harga Murah
kedua, ada harapan permintaan batu bara akan naik, utamanya di China. Sektor properti di Negeri Panda, yang sedang babak belur dihajar krisis utang, mendapat stimulus dari pemerintah. Misalnya, pemerintahan Presiden Xi Jinping memerintahkan perbankan untuk menggenjot penyaluran kredit ke sektor properti untuk mengurangi tekanan arus kas Evergrande cs.
Kebangkitan sektor properti akan meningkatkan kebutuhan terhadap baja. Industri baja adalah industri yang padat energi, dan sumber energi itu datang dari batu bara.
Setelah anjlok dalam 4 pekan beruntun, harga batu bara akhirnya mulai bangkit dalam dua pekan terakhir. Meski demikian, masa depan batu bara tampaknya tetap akan suram, sebab banyak negara bersama-sama membangun aliasi dan pakta untuk secara perlahan mengurangi penggunaannya karena emisi yang ditimbulkan adalah salah satu pemicu pemanasan global.
Melansir data dari Refinitiv, harga batu bara acuan ICE Newcastle melesat 11,4% ke US$ 176/ton di pekan ini, setelah pekan lalu juga menguat 7,5% ke level US$ 158/ton. Sementara 4 pekan sebelum itu, secara beruntun harganya jeblok nyaris 40%.
Meski mengalami kenaikan dalam dua pekan harga batu bara saat ini masih 37% di bawah rekor tertinggi sepanjang masa US$ 280/ton yang dicapai 5 Oktober lalu.
AMasa depan yang suram ditambah dengan intervensi dari China membuat harga batu bara yang sebelumnya terus meroket berbalik nyungsep, sebelum berhasil menguat minggu ini karena faktor teknikal.
Setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan lonjakan harga batu bara dalam dua pekan ini. Satu, rebound atas koreksi 51,03% setelah menyentuh titik puncak, di mana harganya jatuh hingga ke US$ 137,1/ton pada 2 November 2021.
kedua, ada harapan permintaan batu bara akan naik, utamanya di China. Sektor properti di Negeri Panda, yang sedang babak belur dihajar krisis utang, mendapat stimulus dari pemerintah. Misalnya, pemerintahan Presiden Xi Jinping memerintahkan perbankan untuk menggenjot penyaluran kredit ke sektor properti untuk mengurangi tekanan arus kas Evergrande cs.
Kebangkitan sektor properti akan meningkatkan kebutuhan terhadap baja. Industri baja adalah industri yang padat energi, dan sumber energi itu datang dari batu bara.
"Suatu saat energi fosil, penggunaan mineral fosil itu pada suatu titik akan disetop," kata Jokowi seperti dikutip dari video yang diunggah kanal Youtube Sekretariat Presiden, Sabtu (20/11/2021).
Terbaru, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir ikut angkat bicara terkait masa depan batu bara dan mengatakan penggunaan batu bara akan dihentikan dan diganti dengan Energi Baru Terbarukan (EBT).
"Batu bara nanti stop, enggak boleh lagi karena listrik hijau. Ganti ke matahari, angin, geotermal, dan lain-lain. Tapi batu bara kita sayang kalau tidak bisa diproses lebih jauh," kata dia dalam Orasi Ilmiah 'Globalization and Digitalization: Strategi Bumn Pasca Pandemi', Sabtu (27/11/2021)
Erick menilai, ketika batu bara diproses dalam gasifikasi, akan menghasilkan metanol. Adapun metanol bisa dimanfaatkan sebagai pengganti gas LPG.
"Hari ini kita masih impor metanol. LPG yang sekarang subsidinya sampai Rp 60 triliun. Itu impor. Sampai kapan kita mau impor terus? Sedangkan batu bara kalau diproses gasifikasi jadi DME. Harga DME lebih murah," terang Erick. [rin]