WahanaNews.co | Kenaikan harga komoditas global berdampak pada kenaikan harga-harga di dalam negeri, terutama energi dan pangan.
Hal ini dapat dilihat pada tekanan inflasi yang mulai meningkat akhir-akhir ini, meskipun faktor musiman yaitu bulan Ramadan dan perayaan Hari Raya Idul Fitri juga turut memberikan andil terhadap kenaikan harga.
Baca Juga:
Menteri Keuangan Terima Kunjungan President of Global Development Gates Foundation
"Inflasi April 2022 tercatat 3,5 persen, lebih tinggi dibandingkan Maret 2022," kata Sri Mulyani dalam Rapat Paripurna DPR RI di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (20/5).
Meski demikian, lanjut Sri Mulyani, bila dibandingkan negara-negara G20 seperti AS yang tingkat inflasinya mencapai 8,3 persen, Inggris 9,0 persen, Turki 70 persen, Argentina 58 persen, Brazil 12,1 persen, dan India 7,8 persen, tekanan inflasi di Indonesia masih jauh lebih rendah.
"Tekanan inflasi di Indonesia tidak setinggi di negara-negara tersebut karena kenaikan harga energi global diredam oleh APBN (shock absorber) yang konsekuensinya menyebabkan kebutuhan belanja subsidi energi dan kompensasi meningkat tajam," tutur dia.
Baca Juga:
Indonesia Tunjukkan Ketahanan Ekonomi dan Komitmen Masa Depan pada Peluncuran Survei Ekonomi OECD 2024
Dalam kondisi pemulihan ekonomi dan kesejahteraan yang masih awal dan rapuh, lanjut Sri Mulyani, ketersediaan dan keterjangkauan harga energi dan pangan menjadi sangat krusial untuk menjamin daya beli masyarakat dan menjaga keberlanjutan proses pemulihan ekonomi nasional.
Terkait potensi transmisinya ke sektor keuangan, Pemerintah, dalam hal ini diwakili oleh Kementerian Keuangan, bersama dengan anggota KSSK lainnya (BI, OJK dan LPS), berkomitmen untuk memperkuat koordinasi dan sinergi dalam menjaga stabilitas sistem keuangan.
Sampai dengan saat ini, kondisi sektor keuangan nasional masih relatif stabil. Fungsi intermediasi perbankan mulai meningkat, tercermin pada peningkatan pertumbuhan penyaluran kredit.