"Kemampuan recovery yang baik membuat ekonomi Indonesia mampu bangkit, sekaligus menurunkan debt ratio. Pada 2021, rasio utang Indonesia 40,7 persen, jauh di bawah rerata emerging market. China bahkan menyentuh 71,5 persen," ungkapnya.
Ketiga, kata dia, pemerintah patuh pada aturan fiskal. Konsekuensinya, kenaikan PDB lebih besar daripada utang, di saat mayoritas negara ASEAN dan G20 mengalami kenaikan utang yang lebih tinggi dari PDB.
Baca Juga:
Peta Canggih Diluncurkan, Indonesia Bidik PDB Per Kapita US$12.000
Keempat, soal efek pengganda yang besar dari utang. Ia mengklaim pada 2018-2022, saat dunia krisis karena pandemi, utang RI mampu menghasilkan multiplier effect bagi perekonomian sebesar 1,34.
Capaian ini lebih baik dibandingkan banyak negara, termasuk AS, Tiongkok, dan Malaysia.
Kelima, ia menjelaskan, sebanyak 73 persen utang RI dalam bentuk rupiah lantaran berasal dari Surat Berharga Negara (SBN) sehingga menekan risiko tekanan saat rupiah melemah.
Baca Juga:
Defisit APBN 2025 Disepakati 2,29-2,82% PDB oleh Kemenkeu, PPN, BI, dan Banggar DPR
Keenam, soal risiko utang. Ia menjelaskan risiko utang menurun dan ditandai dengan debt service ratio (DSR) sebesar 47,3 persen di 2020 menjadi 34,4 persen pada 2022 dan 28,4 per April 2023.
Ia menjelaskan DSR adalah rasio pembayaran pokok dan bunga utang dengan pendapatan. Interest ratio (rasio pembayaran bunga utang terhadap pendapatan) juga menurun, dari 19,3 persen pada 2020 menjadi 14,7 persen pada 2022 dan 13,95 persen per April 2023.
Penurunan DSR dan IR ini, kata dia, menunjukkan kemampuan APBN dalam membayar biaya utang (pokok dan bunga) semakin menguat.