WAHANANEWS.CO, Jakarta - Federasi Asosiasi Konsumen Malaysia (FOMCA) mengkhawatirkan meningkatnya tren skema "Beli Sekarang, Bayar Nanti" (BNPL) yang agresif dipasarkan selama periode perayaan. Jika tidak dikendalikan, skema ini dapat mendorong masyarakat ke dalam jebakan utang.
Wakil Presiden FOMCA, Datuk Indrani Thuraisingham, menilai akses kredit yang terlalu mudah mendorong pola konsumsi berbasis utang dan hanya memberikan bantuan sementara bagi konsumen.
Baca Juga:
Cara Aman Bertransaksi Paylater agar Terhindar dari Kerugian
"Banyak orang ingin membeli furnitur baru, pakaian, dan kebutuhan lain. Jika anggaran mereka tidak mencukupi, mereka pasti memilih pinjaman," ujar Indrani, melansir media Malaysia, nst.com.
Ia menyoroti bahwa konsumen berpenghasilan rendah adalah kelompok paling rentan, terutama karena BNPL menawarkan batas kredit hingga RM10.000.
Parahnya, skema pembayaran ini memungkinkan konsumen untuk mengambil banyak kontrak BNPL sekaligus melalui berbagai platform e-commerce tanpa adanya regulasi ketat.
Baca Juga:
Tak Kalah Bahaya dari Judi Online, Banyak Warga RI Ketagihan Paylater
"Mereka bisa memiliki hingga 20 skema BNPL dalam satu waktu, dan tidak ada yang mengontrol jumlah pinjaman yang mereka ambil. Akibatnya, mereka bisa berutang di luar kemampuan mereka tanpa mempertimbangkan pendapatan riil," jelasnya.
Sebelumnya, dilaporkan bahwa mayoritas pengguna BNPL adalah individu berusia 21 hingga 45 tahun dengan penghasilan kurang dari RM5.000 per bulan.
Pada 11 Maret lalu, Menteri Keuangan Kedua Malaysia, Datuk Seri Amir Hamzah Azizan, mengungkapkan bahwa transaksi BNPL meningkat tajam pada semester kedua 2024, melonjak menjadi RM7,1 miliar dari RM4,9 miliar di paruh pertama tahun tersebut.
Indrani optimistis dengan langkah pemerintah untuk memperkenalkan Undang-Undang Kredit Konsumen guna mengatur skema BNPL dan mencegah akumulasi utang berlebihan.
"Pembacaan pertama sudah selesai, dan kami berharap segera dibahas kembali di Parlemen untuk disahkan," tambahnya.
Sementara itu, penasihat keuangan berlisensi, Pauline Teoh, menilai BNPL sebagai alat yang mudah diakses, tetapi berisiko menjerat konsumen ke dalam utang berkepanjangan.
"Masalahnya, banyak konsumen tidak memahami dampak finansialnya terhadap mereka. Mereka hanya melihat keuntungan jangka pendek, tetapi akhirnya terjebak dalam penderitaan jangka panjang. Saatnya kita berpikir sebaliknya: manfaat jangka panjang dengan pengorbanan jangka pendek," ujarnya.
[Redaktur: Rinrin Kaltarina]