Suminto menambahkan bahwa meningkatnya nominal utang berpengaruh pada naiknya biaya bunga utang.
Selama lima tahun terakhir, realisasi belanja bunga utang terus meningkat, dari Rp 275,5 triliun pada tahun 2019 hingga mencapai Rp 439,8 triliun pada tahun 2023.
Baca Juga:
Industri Fintech Bergolak di IFSE 2024, OJK Serukan Perlindungan Konsumen
Untuk tahun anggaran 2024, anggaran belanja bunga diperkirakan sebesar Rp 497,3 triliun, dengan proyeksi realisasi mencapai Rp 498,9 triliun.
"Tingginya utang yang akan jatuh tempo pada 2025 dan tahun-tahun berikutnya disebabkan, antara lain, oleh Surat Berharga Negara (SBN) yang diterbitkan untuk pembiayaan penanganan pandemi Covid-19 dan mulai jatuh tempo," jelasnya.
Suminto juga menekankan bahwa untuk utang yang jatuh tempo, pemerintah akan melakukan roll-over atau refinancing, di mana investor akan melakukan penempatan kembali (reinvestment) pada SBN yang diterbitkan pemerintah.
Baca Juga:
OJK dan FSS Korea Bahas Pengawasan Lintas Batas dan Kerja Sama Keuangan
Dalam konteks ini, persepsi pasar terhadap kinerja perekonomian sangat penting untuk memberikan kepercayaan kepada investor agar melakukan reinvestasi, sehingga risiko refinancing bisa terjaga.
Pemerintah, bersama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI), terus melakukan upaya pendalaman pasar keuangan untuk meningkatkan daya serap pasar terhadap SBN. Langkah ini diambil melalui peningkatan literasi dan inklusi keuangan.
"Pemerintah akan terus mengelola utang dengan hati-hati, termasuk mengendalikan biaya bunga utang. Disiplin fiskal dan manajemen fiskal yang hati-hati akan mendukung pengelolaan utang pemerintah agar tetap terkendali. Pertumbuhan ekonomi yang kuat, didukung oleh penerimaan negara yang baik, belanja negara yang berkualitas, serta pembiayaan yang berhati-hati, akan memungkinkan pemerintah menjaga utang pada level yang aman dan terkendali," tutup Suminto.