WAHANANEWS.CO, Jakarta - Presiden terpilih Prabowo Subianto akan dihadapkan pada tantangan besar terkait pembayaran utang pemerintah yang jatuh tempo pada tahun 2025, dengan nilai mencapai Rp 800 triliun.
Periode 2025 hingga 2027 diprediksi menjadi puncak jatuh tempo utang pemerintah.
Baca Juga:
Industri Fintech Bergolak di IFSE 2024, OJK Serukan Perlindungan Konsumen
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, Suminto, menjelaskan bahwa pemerintah mengambil utang untuk menutup defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Tujuan dari utang ini adalah untuk memenuhi kebutuhan belanja prioritas yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta mendukung pertumbuhan ekonomi yang kuat, seimbang, dan berkelanjutan.
"Pandemi Covid-19 memaksa pemerintah untuk meningkatkan belanja guna menangani isu kesehatan, memberikan perlindungan sosial, serta mendukung sektor usaha, baik UMKM maupun korporasi," kata Suminto, sebagaimana dilansir Kontan.co.id, Senin (26/8/2024).
Baca Juga:
OJK dan FSS Korea Bahas Pengawasan Lintas Batas dan Kerja Sama Keuangan
Suminto juga menyatakan bahwa peningkatan defisit APBN selama pandemi Covid-19 berdampak pada bertambahnya utang pemerintah.
Rasio utang terhadap PDB (Debt to GDP ratio) yang pada tahun 2019 masih sebesar 30,23%, melonjak menjadi 39,39% pada tahun 2020 dan 40,74% pada tahun 2021.
Namun, dengan adanya konsolidasi fiskal, defisit APBN berhasil ditekan menjadi 2,35% pada tahun 2022 dan 1,61% pada tahun 2023, sehingga rasio utang terhadap PDB bisa dijaga pada angka 39,70% di tahun 2022 dan 39,20% di tahun 2023.
Suminto menambahkan bahwa meningkatnya nominal utang berpengaruh pada naiknya biaya bunga utang.
Selama lima tahun terakhir, realisasi belanja bunga utang terus meningkat, dari Rp 275,5 triliun pada tahun 2019 hingga mencapai Rp 439,8 triliun pada tahun 2023.
Untuk tahun anggaran 2024, anggaran belanja bunga diperkirakan sebesar Rp 497,3 triliun, dengan proyeksi realisasi mencapai Rp 498,9 triliun.
"Tingginya utang yang akan jatuh tempo pada 2025 dan tahun-tahun berikutnya disebabkan, antara lain, oleh Surat Berharga Negara (SBN) yang diterbitkan untuk pembiayaan penanganan pandemi Covid-19 dan mulai jatuh tempo," jelasnya.
Suminto juga menekankan bahwa untuk utang yang jatuh tempo, pemerintah akan melakukan roll-over atau refinancing, di mana investor akan melakukan penempatan kembali (reinvestment) pada SBN yang diterbitkan pemerintah.
Dalam konteks ini, persepsi pasar terhadap kinerja perekonomian sangat penting untuk memberikan kepercayaan kepada investor agar melakukan reinvestasi, sehingga risiko refinancing bisa terjaga.
Pemerintah, bersama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI), terus melakukan upaya pendalaman pasar keuangan untuk meningkatkan daya serap pasar terhadap SBN. Langkah ini diambil melalui peningkatan literasi dan inklusi keuangan.
"Pemerintah akan terus mengelola utang dengan hati-hati, termasuk mengendalikan biaya bunga utang. Disiplin fiskal dan manajemen fiskal yang hati-hati akan mendukung pengelolaan utang pemerintah agar tetap terkendali. Pertumbuhan ekonomi yang kuat, didukung oleh penerimaan negara yang baik, belanja negara yang berkualitas, serta pembiayaan yang berhati-hati, akan memungkinkan pemerintah menjaga utang pada level yang aman dan terkendali," tutup Suminto.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]